Blantika: Multidisciplinary Jornal Volume 2 Number 6, April, 2024 p- ISSN 2987-758X e-ISSN 2985-4199 | ||
MENINGKATKAN KEAMANAN KOTA MELALUI PERENCANAAN DAN PERANCANGAN KOTA Fasiha Putri Untsa Universitas Gadjah Mada, Indonesia Email: fasihaputriuntsa@mail.ugm.ac.id | ||
ABSTRAK Kota-kota sering menghadapi berbagai masalah keamanan, seperti kejahatan, kekerasan, ketakutan akan kejahatan, dan ancaman lainnya. Selain itu, ada tantangan lain seperti peningkatan jumlah penduduk, kepadatan hunian, migrasi ke kota, pengangguran, dan kemiskinan. Infrastruktur yang rusak dan lingkungan yang tidak sehat juga menjadi masalah, bersamaan dengan ancaman dari perang, terorisme, dan konflik politik. Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana membuat kota menjadi tempat yang lebih aman. Penelitian ini menggunakan pendekatan tinjauan literatur (literature review) dalam mencapai tujuan studi, yaitu mengkaji peran perencanaan kota dan desain kota dalam rangka mengoptimalisai keamanan di lingkungan perkotaan. Metode tersebut dipilih untuk mendapatkan pemahaman menyeluruh tentang elemen atau faktor dalam perencanaan dan perancangan/desain kota yang memengaruhi keamanan. Fokus kajian dalam studi ini adalah pada pentingnya peran perencanaan (urban planning) dan perancangan (urban design) dalam membantu meningkatkan keamanan dan keselamatan, terutama di lingkungan perkotaan. Penulis akan mengkaji teori-teori yang menjelaskan hubungan antara perencanaan dan perancangan kota dengan aspek kejahatan. Beberapa elemen perencanaan dan perancangan kota yang berperan dalam mengurangi peluang kejadian kejahatan adalah perencanaan jalan, penggunaan lahan, pengaturan bangunan, peran manajemen dan tata kelola kota yang baik, serta konsep desain perkotaan seperti ruang defensif, territorialitas, kontrol akses, pengawasan, perkuatan target, citra bangunan, dukungan aktivitas, dan pemeliharaan. Temuan studi diharapkan dapat memberikan panduan dalam menciptakan kota yang lebih aman bagi penduduknya. Kata kunci: keamanan; kejahatan; ketakutan; perencanaan kota; perancangan kota ABSTRACT Cities often face a variety of security issues, such as crime, violence, fear of crime, and other threats. In addition, there are other challenges such as increasing population, overcrowding, migration to cities, unemployment, and poverty. Damaged infrastructure and unhealthy environments are also a problem, along with threats from war, terrorism, and political conflict. This research aims to understand how to make cities safer places. This study uses a literature review approach in achieving the objectives of the study, which is to examine the role of urban planning and urban design in order to optimize security in urban environments. The method is chosen to gain a thorough understanding of the elements or factors in urban planning and design/design that affect security. The focus of the study in this study is on the importance of the role of urban planning and urban design in helping to improve security and safety, especially in urban environments. The author will examine theories that explain the relationship between urban planning and design with aspects of crime. Some elements of urban planning and design that play a role in reducing the chances of crime are road planning, land use, building arrangement, the role of good city management and governance, as well as urban design concepts such as defensive space, territoriality, access control, surveillance, target reinforcement, building imagery, activity support, and maintenance. The study's findings are expected to provide guidance in creating safer cities for its residents. Keywords : security; crime; fear; urban planning; urban design | ||
This work is licensed under a Creative Commons Attribution- ShareAlike 4.0 International |
https://blantika.publikasiku.id/ 594
Ancaman keamanan semakin meningkat di kota-kota besar (Azevedo et al., 2021). Gangguan terhadap ancaman keamanan dan kejahatan yang terjadi di daerah perkotaan menimbulkan ketakutan di kalangan warga, meningkatkan kecemasan pemerintah, dan mengurangi minat investor. Dalam mengatasi ancaman keamanan dan menurunkan tingkat kejahatan, terdapat dua faktor utama yang perlu dipertimbangkan, yakni: faktor fisik dan sosial. Faktor sosial mencakup kemiskinan, pengangguran, dan kualitas hidup individu maupun masyarakat. Di lain sisi, faktor fisik melibatkan perencanaan dan perencangan/desain kota. Elemen fisik yang memengaruhi tingkat kejahatan dalam perencanaan perkotaan melibatkan perencanaan jalan, penggunaan lahan, dan kepadatan bangunan (Nalla and Ceccato 2020). Sementara itu, dalam perancangan kota, elemen fisik mencakup ruang publik, desain bangunan, desain jalan, hierarki ruang, tata letak dan orientasi bangunan, lokasi pintu masuk, dan balkon (HE et al., 2022).
Kota merupakan hasil interaksi antara elemen fisik (aspek fisik dan perkotaan) dan elemen immaterial atau tidak terlihat (aspek sosial, budaya, dan politik) (Azevedo et al., 2021). Perencanaan dan peracangan kota memiliki peran dalam memperkuat hubungan sosial antara orang dan perasaan keamanan mereka, serta mengurangi peluang potensi kejadian kejahatan. Perlu diketahui bahwa terdapat beberapa kota maupun daerah perkotaan yang lebih aman daripada area yang lain, sementara kejahatan terkonsentrasi di beberapa tempat dan tidak di tempat lain, karena desain di area/daerah tertentu lebih mudah dilalui oleh banyak orang, namun juga terdapat ruang yang negatif (yakni: ruang yang menghambat interaksi sosial dengan orang lain) yang dapat mendorong kejahatan dan kelemahan pengawasan terhadap kejasian kejahatan secara alamiah (Mao et al. 2021).
Perencana dan perancang kota dihadapkan pada tantangan besar saat merancang kota atau daerah perkotaan baru, terutama dalam menjawab tantangan keamanan dalam upaya untuk menyediakan keamanan bagi masyarakat kota. Empat elemen penting yang berperan dalam menciptakan kota yang aman mencakup tata kelola dan manajemen yang cerdas, perencanaan dan desain perkotaan yang tepat, keberadaan kepolisian yang kompeten, dan penggunaan teknologi modern (Mao et al. 2021). Menjamin tata kelola dan manajemen yang efisien dapat memberikan dasar yang kokoh untuk keamanan kota, sementara perencanaan dan desain perkotaan yang tepat dapat membentuk lingkungan yang lebih aman dan terkendali. Keberadaan kepolisian yang kompeten juga menjadi faktor kunci dalam menjaga ketertiban dan keselamatan warga. Penggunaan teknologi modern, seperti pengawasan kamera dan sistem keamanan cerdas, dapat memberikan dukungan tambahan untuk mengatasi tantangan keamanan yang semakin kompleks Rumusan masalah yang melatar belakangi kajian ini adalah kurangnya pengetahuan
ilmiah tentang faktor perencanaan dan desain di kota yang memberikan perasaan aman di perkotaan. Permasalahan tersebut sejalan dengan temuan studi yang dilakukan oleh Köklü et al. (2017); Rezvani et al. (2019); dan Smit (2022), yang menegaskan bahwa kurang banyak studi yang menjelaskan terkait peran perencanaan kota (urban planning) dan perancangan/desain kota (urban design) dalam meningkatkan keamanan dan keselamatan bagi penduduk kota. Temuan tersebut didukung dengan pernyataan Al. (2017) dan Zeng et al. (2021) yang mengemukakan bahwa perencanaan dan desain perkotaan dapat memengaruhi tingkat keamanan kota. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan menganalisis faktor-faktor perencanaan dan perancangan/desain yang penting dalam menciptakan dan memperkuat kota yang aman.
Penelitian ini menggunakan pendekatan tinjauan literatur (literature review) dalam mencapai tujuan studi, yaitu mengkaji peran perencanaan kota dan desain kota dalam rangka mengoptimalisai keamanan di lingkungan perkotaan. Metode tersebut dipilih untuk mendapatkan pemahaman menyeluruh tentang elemen atau faktor dalam perencanaan dan perancangan/desain kota yang memengaruhi keamanan. Pemilihan metode tinjauan literatur dalam penelitian ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yang memperkuat kevalidan dan ketelitian analisis terkait hubungan antara perencanaan kota, desain kota, dan keamanan perkotaan.
Tinjauan literatur memudahkan untuk mendapatkan pemahaman komprehensif tentang isu keamanan di lingkungan perkotaan, dengan memperoleh wawasan dari berbagai sudut pandang, teori, dan temuan penelitian terdahulu.
Peneliti dapat mengidentifikasi dan mengkategorikan elemen-elemen perencanaan dan desain kota yang paling berpengaruh terhadap tingkat keamanan di lingkungan perkotaan. Hal ini membantu dalam mencapai fokus dan tujuan penelitian.
Hasil tinjauan literatur dapat menjadi dasar untuk pengembangan konsep dan strategi yang dapat diterapkan dalam perencanaan dan perancangan kota sebagai upaya untuk meningkatkan keamanan.
Dengan memilih tinjauan literatur, penelitian ini berupaya memberikan kontribusi yang signifikan pada pemahaman dan wawasan mendalam tentang bagaimana perencanaan dan desain kota dapat membentuk keamanan di lingkungan perkotaan. Penelitian ini melibatkan beberapa langkah sistematis untuk memperoleh pemahaman menyeluruh tentang isu keamanan di lingkungan perkotaan dan faktor-faktor yang memengaruhi keamanan tersebut dalam konteks perencanaan dan desain kota. Tinjauan literatur ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada literatur ilmiah terkait dengan peran perencanaan dan desain kota dalam meningkatkan keamanan di lingkungan perkotaan.
Tinjauan Literatur terkait Teori
Eksplorasi terhadap teori-teori terdahulu dalam tahap literature review bertujuan untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang konsep-konsep teoretis yang relevan dengan konteks penelitian. Berbagai teori yang telah muncul dianalisis untuk menjelaskan hubungan antara lingkungan perkotaan dan keamanan. Teori-teori penting beserta hasil penelitiannya akan diuraikan secara kronologis untuk memberikan pemahaman sejarah yang terstruktur.
Pada periode 1960-an, terdapat sejumlah literatur yang secara kritis membahas teori keamanan kota, terutama dalam konteks perencanaan dan perancangan/desain kota. Berikut ini adalah analisis kajian terhadap literatur-literatur tersebut:
Pada awal tahun 1960-an, sosiolog Amerika, Elizabeth Wood, terlibat dalam penelitian di lingkungan mikro blok perumahan umum di Amerika Serikat. Argumennya menyatakan bahwa pengembangan perumahan tidak dapat menggantikan jumlah polisi, teknisi layanan, penjaga, dan sebagainya, yang cukup untuk mencegah terjadinya kejahatan. Wood menjadi salah satu pendukung konsep pentingnya desain fisik untuk mencapai tujuan sosial. Usahanya difokuskan pada perubahan desain dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup penghuni, meningkatkan estetika lingkungan perumahan, memperbaiki kondisi keamanan, meningkatkan visibilitas unit perumahan oleh penghuni, dan menciptakan area tinggal yang memungkinkan penghuni untuk saling memantau tetangga mereka. Wood mengidentifikasi beberapa elemen yang dapat diimplementasikan untuk mendorong komunikasi kebetulan atau kasual antara orang, seperti desain untuk
visibilitas yang optimal, membuat seluruh area terlihat dari setiap tempat di luar lobi, desain untuk memfasilitasi pertemuan informal, dan desain yang mendukung pembentukan kelompok dewasa secara informal (Kamalipour, Faizi, and Memarian 2014; Wood 1961).
Teori Jane Jacobs muncul melalui bukunya yang berjudul "The Death and Life of Great American Cities" yang diterbitkan pada tahun 1961 (Baran, Smith, and Toker 2007; Harrison, Montgomery, and Jeanty 2019). Dalam buku tersebut, Jane Jacobs mengemukakan pandangan dan konsepnya tentang perencanaan perkotaan dan hubungannya dengan kehidupan kota yang berkualitas. Jacobs menjadi salah satu tokoh yang berpengaruh dalam bidang perencanaan perkotaan. Jacobs menyimpulkan bahwa untuk menciptakan suatu wilayah perumahan yang aman, harus mempertimbangkan beberapa prinsip-prinsip berikut (Jacobs 1961):
Demarkasi (demarcation)
Menyatakan adanya perbedaan yang jelas antara ruang pribadi dan ruang publik, menciptakan batasan yang jelas antara area privat dan area yang terbuka untuk umum.
Pemantauan oleh Pemilik (proprietor monitoring): menekankan bahwa para pemilik alami (penghuni atau pedagang lokal) harus memiliki kemampuan untuk mengawasi jalanan, memberikan pemantauan alami pada jalanan dan properti mereka.
Pengguna yang Konsisten (constant users): mengusulkan bahwa trotoar seharusnya digunakan secara terus-menerus untuk meningkatkan pemantauan yang lebih efektif di jalan dan jalur pejalan kaki. Hal ini dapat terjadi karena orang yang berada di dalam restoran dan toko di pinggir jalan dapat secara alami memantau kegiatan di sekitarnya.
Penggunaan Campuran (mixed-use): mendorong keberagaman dalam lingkungan hunian dengan mengakomodasi berbagai tipe orang, termasuk kelompok usia yang berbeda, dan mencakup perbedaan ekonomi. Selain itu, menciptakan kombinasi properti komersial dan hunian yang dapat disewa atau dimiliki secara pribadi.
Jane Jacobs menghadirkan konsep-konsep tersebut sebagai fondasi untuk menciptakan lingkungan yang tidak hanya aman tetapi juga beragam dan berkelanjutan. Dengan memahami dan menerapkan prinsip-prinsip ini, diharapkan dapat meningkatkan kehidupan di lingkungan perkotaan, mengurangi potensi kejahatan, dan memperkuat ikatan sosial antar penduduk.
Pada tahun 1968, Shlomo Angel menulis buku yang berjudul "Discouraging Crime through City Planning," yang membahas metode di mana warga dapat membantu mencegah kejahatan (Angel 1968). Dalam karyanya ini, Angel menyajikan pandangannya tentang bagaimana perencanaan kota dapat menjadi sarana untuk mengurangi tingkat kejahatan. Angel berpendapat bahwa beberapa daerah mengalami tingkat kejahatan yang lebih tinggi daripada yang lain karena tingkat peluang yang lebih tinggi bagi pelaku kejahatan rasional. Untuk mengatasi hal ini, Angel mengusulkan beberapa hambatan terhadap kejahatan, antara lain:
Penggunaan Intensitas Tinggi dan Rendah: penggunaan intensitas tinggi di suatu lokasi diusulkan karena dapat meningkatkan jumlah saksi yang efektif, sedangkan penggunaan intensitas rendah di area tertentu dapat mengurangi jumlah korban potensial.
Penggunaan Lahan Sedang: lahan dengan penggunaan sedang dianggap dapat menghasilkan jumlah kejahatan tertinggi karena ada cukup korban untuk dipilih namun tidak cukup untuk mencegah kejahatan.
Ide utama Angel berfokus pada arah pengaturan bisnis zonasi dan lalu lintas pejalan kaki, khususnya mendekatkan area bisnis, zonasi, dan lalu lintas pejalan kaki ke tempat parkir dan transportasi massal (Zukerman 2013; Angel 1968). Pendekatannya bertujuan untuk menciptakan
lingkungan perkotaan yang tidak hanya efisien secara fungsional tetapi juga dapat mengurangi peluang dan insentif untuk kejahatan.
Periode 1970-an: Perkembangan Konsep Keamanan Kota
Perhatian terhadap keamanan kota terus berkembang dengan adanya penelitian-penelitian yang signifikan di berbagai disiplin ilmu terutama periode tahun 1970-an. Berikut adalah beberapa perkembangan penting dalam konsep keamanan kota selama periode ini:
Fokus penelitian tentang pencegahan kejahatan di lingkungan perkotaan semakin meluas, melibatkan disiplin seperti perencanaan perkotaan, sosiologi, arsitektur, dan kriminologi. Ray Jeffery menjadi tokoh sentral dalam upaya tersebut.n Pada tahun 1971, ia memperkenalkan istilah "CPTED" dalam makalahnya yang berjudul "Crime Prevention Through Environmental Design atau “Pencegahan Kejahatan melalui Desain Lingkungan" (Jeffery 1971; Mao et al. 2021; P. M. Cozens 2008), yang dihadirkan dalam konferensi Kriminalologi Nasional di Amerika Serikat. Jeffery banyak berkontribusi pada bidang pencegahan kejahatan melalui desain lingkungan. Jeffery meneliti kompleksitas hubungan antara manusia dan lingkungannya serta bagaimana lingkungan dapat memengaruhi perilaku mereka. Konsep CPTED menggabungkan empat strategi utama yang saling terkait (Jeffery 1971). Konsep-konsep ini menjelaskan tentang prinsip-prinsip rancangan dan rekayasa ruang untuk mengurangi kejahatan. Empat prinsip utama dalam defensible space yaitu:
Teritoriality (kendali terhadap ruang), yaitu memberikan batas-batas jelas terhadap ruang lingkungan hunian. Hal ini penting untuk memberikan penghuni rasa memiliki dan mengendalikan ruang sekaligus memberikan sense pada orang luar bahwa “anda sedang memasuki ruang dibawah kendali orang lain”.
Natural surveillance (pengawasan alami terhadap lingkungan), prinsip ini menjelaskan tentang perlunya pengawasan penghuni terhadap ruang publik. Bertujuan untuk meningkatkan kesadaran penduduk sebuah lingkungan dan penghuni bangunan terhadap siapa yang meninggalkan serta siapa yang masuk ke dalam lingkungan dan bangunan. Pengawasan alami bertujuan agar pelaku dapat dengan mudah dikenali. Strategi ini dapat dimaksimalkan dengan memanfaatkan feature yang memaksimalkan visibilitas penduduk.
Access control and Target hardening (kendali akses dan penguatan target): strategi tersebut bertujuan untuk membatasi peluang terjadinya kejahatan dengan merancang lingkungan agar sulit diakses atau memberikan penghalang terhadap aktivitas kriminal. Hal ini juga berkaitan dengan image (kesan) adalah kemampuan dari rancangan fisik untuk memberi kesan rasa aman, dan milieu (lingkungan), unsur-unsur lingkungan yang dapat menunjang keamanan seperti kedekatan dengan pos polisi atau tempat-tempat keramaian.
Pemeliharaan dan Pengelolaan (maintenance and management): lingkungan publik yang terawat dengan baik dapat mengurangi potensi perilaku kriminal, sementara area yang kurang terurus cenderung menjadi tempat potensial untuk aktivitas kejahatan.
Konsep-konsep tersebut tidak hanya menciptakan lingkungan yang lebih aman tetapi juga merangsang interaksi sosial yang positif antara warga. Salah satu bentuk ilustrasi yang menggambarkan konsep pengawasan alami dapat dilihat pada Gambar 1. Melalui CPTED, Ray Jeffery memberikan kontribusi yang berharga dalam membentuk pendekatan holistik terhadap pencegahan kejahatan di ruang perkotaan.
Gambar 1. Ilustrasi Konsep Natural Surveillance Sumber: (Mao et al. 2021)
Pada periode selanjutnya, Oscar Newman membawa kontribusi signifikan dengan mengembangkan teori "Defensible Space" dan mempublikasikannya dalam bukunya yang berjudul "Defensible Space: Crime Prevention Through Urban Design" (Reynald and Elffers 2009). Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1972. Teori defensible space (ruang yang dapat dipertahankan) menekankan pentingnya menciptakan lingkungan fisik yang mendorong perasaan aman dan tanggung jawab di antara penduduk suatu wilayah. Berikut adalah kelima faktor yang membentuk defensibla space menurut konsep Newman:
Territoriality (teritorialitas): pemanfaatan penghalang fisik atau simbolis untuk meningkatkan perasaan teritorialitas penduduk di daerah mereka. Hal tersebut dapat mencakup batas fisik seperti pagar atau tanda simbolis yang menunjukkan batas wilayah. Konsep ini menyoroti pentingnya menciptakan batas-batas fisik dan simbolis yang jelas di antara wilayah privat dan publik. Dengan menegaskan batas teritorial, penduduk diharapkan lebih peduli terhadap lingkungan sekitar mereka.
Natural Surveillance (pengawasan alami): adanya fitur fisik yang memungkinkan penduduk memantau lingkungan mereka dengan lebih efektif. Bangunan dan tata letak yang mendukung pengawasan alami dapat meningkatkan keamanan.
Building Image (citra bangunan): upaya untuk mencegah stigmatisasi penduduk dengan pemilihan bahan dan desain yang tepat. Bangunan yang dirancang secara estetis dapat menciptakan identitas positif dan mengurangi potensi risiko kejahatan.
Juxtaposition of other Facilities (juxtaposisi fasilitas lain): penempatan yang tepat dari berbagai fasilitas dalam suatu kawasan, seperti pencampuran zona tempat tinggal dengan zona komersial dan fasilitas lainnya, dapat membantu mengurangi kejahatan dan meningkatkan rasa aman.
Safe Adjoining Area (area terdekat aman): desain area terdekat yang memungkinkan penduduk untuk memantau ruang terdekat dengan baik. Keamanan dapat ditingkatkan dengan menciptakan lingkungan yang memfasilitasi interaksi dan pemantauan antarpenduduk.
Teori Defensible Space banyak mempengaruhi praktik perencanaan perkotaan dan desain lingkungan dalam upaya meningkatkan keamanan dan mencegah kejahatan. Meskipun tidak tanpa kritik, konsep-konsep ini tetap relevan dalam diskusi mengenai hubungan antara desain lingkungan dan keamanan perkotaan. Gambar 2 menunjukkan ilustrasi dari faktor-faktor yang terlibat dalam konsep ruang yang dapat dipertahankan, yang mencerminkan pendekatan holistik Newman terhadap keamanan kota.
Gambar 2. Faktor-faktor Defensible Space Sumber: Analisis, 2023
Pattern language adalah konsep yang diperkenalkan oleh arsitek dan ahli desain Christopher Alexander dalam bukunya yang berjudul "A Pattern Language," yang diterbitkan pada tahun 1977 (Colquhoun 2007). Meskipun buku tersebut tidak secara khusus berkaitan dengan kejahatan, namun mencakup banyak elemen desain yang dapat berkontribusi pada pencegahan kejahatan dan dalam upaya mengurangi ketakutan akan kejahatan (fear of crime). Konsep tersebut menjadi suatu cara untuk menyusun elemen-elemen desain ke dalam pola-pola yang dapat diterapkan secara luas dalam berbagai konteks. Dalam konteks desain lingkungan, pattern language merujuk pada kumpulan pola desain atau aturan-aturan praktis yang dapat membimbing perancang dalam menciptakan ruang yang berfungsi dengan baik (Colquhoun 2007; Dawes and Ostwald 2017).
Setiap pola mewakili suatu solusi terhadap masalah desain tertentu, dan pola-pola tersebut dapat dihubungkan atau dikombinasikan untuk menciptakan solusi yang lebih kompleks. Christopher Alexander menciptakan "A Pattern Language" sebagai upaya untuk memberikan bahasa yang dapat digunakan oleh perancang, arsitek, dan pemangku kepentingan lainnya untuk berkomunikasi dan merancang lingkungan yang lebih baik. Konsep pattern language telah diterapkan dalam berbagai bidang, termasuk arsitektur, perencanaan kota, desain produk, dan bahkan pengembangan perangkat lunak.
Periode tahun 1980-an: Perkembangan Konsep Keamanan
Periode 1980-an adalah era yang signifikan dalam pengembangan teori dan konsep keamanan kota serta desain lingkungan. Sejumlah tokoh dan teori mengemuka, membawa kontribusi penting untuk memahami dan mengatasi isu-isu kejahatan perkotaan. Berikut adalah beberapa aspek dan kontribusi kunci dari era ini:
Ronald V. Clarke adalah seorang kriminolog terkemuka yang telah memberikan kontribusi signifikan dalam pengembangan teori keamanan kota. Bersama dengan Patricia Mayhew, Clarke mengembangkan konsep "Situational Crime Prevention" atau Pencegahan Kejahatan Situasional (Delpech, Borrion, and Johnson 2021). Teori tersebut pertama kali dijelaskan dalam buku yang berjudul "Situational Crime Prevention: From Theory to Practice," yang diterbitkan pada tahun 1983. Teori Situational Crime Prevention menekankan bahwa kejahatan dapat dicegah melalui manipulasi faktor-faktor situasional atau lingkungan yang dapat mempengaruhi pelaku kejahatan. Clarke menyoroti pentingnya fokus pada situasi konkret di mana kejahatan terjadi, dan strategi pencegahan kejahatan seharusnya lebih difokuskan pada pengaturan lingkungan dan situasi tertentu yang dapat mengurangi peluang kejahatan.
Ronald V. Clarke dan Patricia Mayhew (Shariati 2017) merinci strategi pencegahan kejahatan situasional yang mencakup berbagai pendekatan, seperti mengubah desain fisik tempat, mengurangi kesempatan bagi pelaku kejahatan, dan meningkatkan pengawasan atau pengamanan dalam suatu area. Teori ini telah menjadi konsep penting dalam pemahaman dan penanggulangan kejahatan perkotaan. Pada tahun 1997, Clarke menerbitkan buku “Situational Crime Prevention
Successful Case Studies 2nd Edition”, yang berisi 16 strategi utama yang dilakukan untuk tindakan pencegahan kejahatan. Strategi-strategi tersebut dapat dilihat pada Gambar 3 (Clarke 1997):
Gambar 3. Prinsip-Prinsip pada Strategi Pencegahan Kejahatan Sumber: Analisis, 2023
Penelitian yang dilakukan oleh Paul Brantingham dan Patricia Brantingham pada periode 1980-an mengungkapkan perbedaan yang signifikan dalam jumlah kejahatan perampokan antar lingkungan. Dalam teori mereka, fokus utama adalah pemilihan korban oleh pelaku kejahatan, dengan mempertimbangkan motif kejahatan, baik yang bersifat emosional maupun instrumental, sebagai faktor penentu. Keduanya mengidentifikasi perbedaan dalam jumlah kejahatan perampokan antar lingkungan, serta perbedaan distribusinya di dalam setiap lingkungan. Teori yang diajukan oleh mereka didasarkan pada kesimpulan dari penelitian mereka. Pertama, mereka menyatakan bahwa pelaku kejahatan memiliki motif tertentu untuk melakukan tindakan kejahatan, baik itu bersifat emosional seperti serangan dan perusakan, atau bersifat instrumental atau direncanakan seperti perampokan atau perampokan rumah. Kedua, kejahatan dianggap sebagai hasil dari suatu proses di mana pelaku kejahatan memilih korban yang sesuai dengan motif yang ada. Dalam kasus kejahatan impulsif, prosesnya cenderung lebih terbatas (Colquhoun 2007).
Teori Pola Kejahatan (Crime Pattern Theory) yang dikembangkan oleh Paul dan Patricia Brantingham pada tahun 1981 menyoroti pentingnya memahami interaksi antara pelaku dan korban dalam konteks kejahatan. Berikut adalah eksplorasi deskripsi beberapa konsep kunci dari teori ini:
Individu yang termotivasi: teori mengakui bahwa beberapa individu memiliki motivasi untuk melakukan kejahatan. Motivasi ini dapat berasal dari berbagai faktor seperti kebutuhan finansial, masalah psikologis, atau dorongan sosial.
Kemampuan bekerja secara kelompok: teori menganggap bahwa individu yang terlibat dalam kejahatan memiliki kemampuan untuk bekerja secara kelompok. Hal ini menekankan bahwa beberapa kejahatan dapat terjadi melalui kolaborasi dan kerjasama antar pelaku.
Karakteristik lingkungan pergaulan: lingkungan sosial tempat individu berinteraksi memiliki dampak pada terjadinya kejahatan. Faktor-faktor seperti struktur sosial, norma kelompok, dan pengaruh dari lingkungan sekitar dapat memengaruhi tingkat kejahatan.
Identifikasi target: teori menyatakan bahwa pelaku kejahatan melakukan identifikasi terhadap target sebelum melaksanakan kejahatan. Hal ini mencakup pemilihan target berdasarkan kesempatan dan keuntungan yang diinginkan oleh pelaku.
Perencanaan dan pola tertentu: kejahatan cenderung mengikuti pola tertentu dan dapat direncanakan. Pelaku mungkin mengulang pola kejahatan yang sama berulang kali, membentuk suatu kecenderungan yang dapat diidentifikasi.
Dalam konteks pencegahan kejahatan, teori ini memberikan dasar untuk pengembangan strategi yang lebih terfokus. Pencegahan dapat melibatkan pemahaman dan analisis pola kejahatan untuk meningkatkan pengawasan, keamanan lingkungan, dan intervensi yang ditujukan untuk memutus atau mengganggu pola-pola kejahatan yang ada.
Pada tahun 1982, George Kelling dan James Q. Wilson mengembangkan teori Broken Window, sebuah konsep yang menyoroti pentingnya pemeliharaan dan perawatan lingkungan fisik sebagai upaya pencegahan kejahatan (Silva and Li 2020). Konsep tersebut menyiratkan bahwa tanda-tanda ketidakpedulian terhadap tata kota, seperti jendela pecah atau kerusakan lainnya pada bangunan, menciptakan kesan bahwa suatu daerah tidak dijaga dengan baik atau tidak terawat. Seiring waktu, keadaan ini dapat memberi sinyal kepada pelaku kejahatan bahwa tindakan kriminal dapat dilakukan tanpa risiko di tempat tersebut. Konsep dasar dari Broken Window adalah bahwa kepedulian terhadap detail kecil (An and Yoshida 2013), seperti memperbaiki jendela yang pecah atau merawat cat, dapat mencegah kejahatan lebih serius. Jika masalah kecil diabaikan dan tidak segera diperbaiki, mereka dapat memicu efek domino, di mana keadaan lingkungan semakin memburuk dan peluang kejahatan meningkat. Manajemen property (Baran, Smith, and Toker 2007; Liu, Wu, and Che 2019) dianggap kritis dalam menjaga keamanan dan mencegah kejahatan. Memastikan pemeliharaan tetap sesuai standar, termasuk perbaikan property dan infrastruktur lainnya dengan segera ketika terjadi kerusakan adalah kunci dalam menerapkan prinsip Broken Window, dalam rangka menciptakan lingkungan yang tidak ramah terhadap kejahatan.
Bill Hillier, pada tahun 1984, mengembangkan konsep Space Syntax, sebuah teori yang membuka pintu baru dalam revolusi teknik analisis atau metode revitalisasi daerah perkotaan. konsep tersebut menggambarkan bahwa ruang, sebagai perpanjangan kehidupan sehari-hari, dapat dianalisis dan dipahami melalui pendekatan sosiologis. Hillier menekankan bahwa karakteristik visual bukanlah elemen paling penting dalam arsitektur, melainkan bagaimana serangkaian ruang dapat memengaruhi pergerakan pejalan kaki, keamanan, dan vitalitas ekonomi suatu daerah. Proses analisis menggunakan teknologi berbasis komputer untuk menghasilkan demonstrasi grafis faktor-faktor seperti pola kejahatan yang dilaporkan, penggunaan lahan, pergerakan pejalan kaki, dan sebagainya melalui pemodelan komputer zona perumahan. Dalam penelitiannya, Hillier menyimpulkan beberapa temuan penting:
Tempat yang tenang dan kurang terhubung cenderung memiliki tingkat kejahatan yang lebih tinggi, dan banyak dari tempat tersebut sangat terisolasi.
Jalan yang dapat diakses oleh pejalan kaki membawa lebih banyak lalu lintas, dan tingkat aksesibilitas spasial berkaitan langsung dengan aktivitas pejalan kaki dewasa.
Penurunan skala ruang perkotaan dapat memudahkan eksplorasi bagian yang kurang dapat diakses oleh anak-anak.
Kurangnya rumah yang menghadap keluar berkorelasi langsung dengan ketakutan pejalan kaki.
Kesimpulan utama dari teori Space Syntax adalah bahwa pola pergerakan yang efektif dan terdefinisi dengan baik dapat menjadi cara yang efektif untuk mengendalikan kejahatan di perumahan. Space Syntax mengusulkan bahwa ruang, sebagai perpanjangan kehidupan sehari- hari, dapat dianalisis dan dipahami melalui pendekatan sosiologis. Pendekatan ini menyoroti bahwa karakteristik visual bukanlah elemen paling penting dalam arsitektur, melainkan bagaimana serangkaian ruang dapat memengaruhi pergerakan pejalan kaki, keamanan, dan vitalitas ekonomi suatu daerah. Temuan utama dari teori Space Syntax melibatkan pemahaman tentang bagaimana pola pergerakan yang efektif dan terdefinisi dengan baik dapat menjadi cara
yang efektif untuk mengendalikan kejahatan di perumahan, serta menciptakan lingkungan yang lebih aman dan berkelanjutan.
Dalam bukunya "Utopia on Trial: Vision and Reality in Planned Housing" yang ditulis oleh Alice Coleman pada tahun 1985 (Spicker 1987), Coleman tidak secara khusus memperkenalkan sebuah teori keamanan tertentu. Sebaliknya, bukunya lebih mengeksplorasi dampak desain dan perencanaan perumahan terhadap kehidupan sosial, kualitas hidup, dan tingkat kejahatan. Alice Coleman mengkritisi pembangunan perumahan yang direncanakan dan menyoroti bahwa desain yang buruk dapat mempengaruhi tingkat kejahatan dan kerusakan sosial (Mao et al. 2021; P. Cozens 2013). Dalam konteks ini, bukunya dapat dianggap sebagai analisis kritis terhadap dampak perencanaan dan desain perumahan terhadap masyarakat, dengan fokus khusus pada isu-isu keamanan dan kualitas hidup. Dalam bukunya ini, Coleman membahas penggunaan lahan dan prinsip-prinsip desain yang berkaitan dengan pencegahan kejahatan. Ia menyoroti bahwa kerusakan sosial lebih cenderung terjadi secara lebih sering dalam setiap blok rumah akibat desain yang cacat dan buruk. Dengan mengevaluasi desain perumahan yang direncanakan, Coleman berusaha mengidentifikasi hubungan antara aspek-aspek desain dan tingkat keamanan atau kejahatan. Pemahaman tentang dampak desain terhadap tingkat kejahatan dapat membantu merancang lingkungan yang lebih aman dan lebih baik untuk ditinggali (Colquhoun 2007).
Periode tahun 1990-an: Perkembangan Konsep Keamanan CPTED
Periode tahun 1990-an melibatkan beberapa perkembangan penting dalam teori keamanan kota, terutama dalam konteks CPTED (Crime Prevention Through Environmental Design). Berikut adalah beberapa tokoh dan konsep utama dari periode ini:
Sejak tahun 1991, Timothy D. Crowe memainkan peran kunci dalam menyempurnakan konsep CPTED (P. Cozens and Love 2015). Ia menulis buku pertama yang membahas aplikasi CPTED. Buku ini menjadi salah satu referensi awal yang merinci konsep dan penerapan CPTED. Dengan menggagas ide-ide baru dan memanfaatkan pengalamannya dalam proyek CPTED Westinghouse, Crowe menciptakan suatu sistem kategorisasi solusi CPTED yang terstruktur. Crowe mengusulkan tiga klasifikasi langkah-langkah untuk CPTED, yang masing-masing memiliki fokus dan pendekatan yang berbeda (P. Cozens 2013):
Langkah-langkah mekanis (penguatan target) (mechanical measures/target hardening) Menekankan penggunaan penghalang fisik untuk mencegah kejahatan dan disarankan untuk tidak hanya mengandalkan langkah-langkah mekanis secara terpisah, melainkan mengintegrasikannya dengan strategi desain dan aspek manusia.
Langkah-langkah organisasional/manusia (organizational or human measures):
Melibatkan pengajaran dan instruksi kepada individu dan kelompok tentang metode perlindungan diri dan termasuk implementasi pengawasan blok dan upaya meningkatkan keamanan lingkungan secara kolektif.
Langkah-langkah alami (natural measures)
Bertujuan untuk mencegah kejahatan melalui desain ruang yang menciptakan lingkungan yang alami dan fungsional dan menjamin bahwa desain tersebut tidak hanya memprioritaskan keamanan, tetapi juga mempertimbangkan kebutuhan dan pengalaman pengguna yang sah.
Inovasi dari Crowe tidak hanya terletak pada pemikirannya terhadap penguatan target fisik, tetapi juga pada pengakuan akan pentingnya elemen organisasional dan aspek alami dalam mencapai keamanan perkotaan yang holistic (P. Cozens, 2013). Langkah-langkahnya yang terstruktur memberikan panduan yang komprehensif dalam menerapkan prinsip-prinsip CPTED di berbagai konteks perkotaan.
Greg Saville dan Gerry Cleveland, pada tahun 1998, mengembangkan CPTED generasi kedua yang melibatkan faktor-faktor sosial lebih lanjut dalam upaya pencegahan kejahatan melalui desain lingkungan. Mereka memperkenalkan empat strategi utama yang dikenal sebagai "empat C" (the four C’s) (Mihinjac and Saville 2019; Kamalipour, Faizi, and Memarian 2014; Mao et al. 2021):
Kohesi sosial: menekankan pentingnya membangun dan memperkuat hubungan sosial di antara anggota komunitas. menciptakan kohesi sosial dapat membantu meningkatkan keamanan dan mendorong kolaborasi dalam upaya pencegahan kejahatan.
Konektivitas: merujuk pada keterkaitan dan keterhubungan antara berbagai elemen dalam lingkungan, seperti jalan, trotoar, dan fasilitas umum. Konektivitas yang baik dapat menciptakan lingkungan yang lebih terawat dan dapat diawasi, sehingga mengurangi peluang kejahatan.
Kultur Komunitas: mendorong pengembangan identitas dan nilai-nilai bersama di dalam komunitas. Memperkuat kultur komunitas dapat memberikan dasar untuk pengawasan dan dukungan bersama dalam menjaga keamanan.
Kapasitas ambang: merujuk pada peningkatan kemampuan individu dan kelompok dalam memahami, mencegah, dan merespons terhadap kejahatan. Peningkatan kapasitas ambang dapat mencakup pelatihan, edukasi, dan pembangunan keterampilan untuk membantu melibatkan masyarakat dalam upaya keamanan.
Dengan memasukkan elemen-elemen ini, CPTED generasi kedua (P. Cozens 2013) mencoba memperluas konsep asli dan menyelaraskannya dengan faktor-faktor sosial yang memainkan peran penting dalam keamanan lingkungan.
CPTED generasi ketiga, sebagaimana diusulkan oleh United Nations Interregional Crime and Justice Research Institute (UNICRI) pada tahun 2011 (Mihinjac and Saville 2019), menekankan penggunaan desain berkelanjutan hijau untuk meningkatkan keamanan perkotaan dan mengurangi kejahatan serta masalah sosial lainnya. Dokumen berjudul "Improving Urban Security through Green Environmental Design" mengidentifikasi kunci dari pendekatan ini sebagai teritorialitas, di mana fokus utamanya adalah menciptakan ruang yang memberikan rasa aman kepada penduduk, tamu, dan semua pihak yang berada dalam komunitas (Silva and Li 2020). CPTED generasi ketiga memperkenalkan langkah-langkah praktis yang ditingkatkan secara fisik atau sibernetik, yang bertujuan untuk mendorong persepsi ruang perkotaan sebagai aman. Pendekatan ini melibatkan empat komponen utama (Komal 2023):
Tempat: menyelidiki dan meningkatkan desain fisik dan spasial dari suatu tempat dengan mempertimbangkan faktor keamanan.
Orang: melibatkan penduduk dan masyarakat setempat dalam upaya pencegahan kejahatan dan membangun rasa memiliki terhadap lingkungan mereka.
Teknologi: memanfaatkan teknologi baik secara fisik maupun sibernetik untuk meningkatkan keamanan, termasuk penggunaan sistem pemantauan dan penerangan yang canggih.
Programulang ruang perkotaan: menciptakan program dan inisiatif yang bertujuan untuk memprogram ulang ruang perkotaan dengan tujuan menciptakan komunitas yang lebih aman.
Pendekatan ini mengusulkan penggunaan teknologi dan desain yang berkelanjutan untuk menciptakan ruang perkotaan yang lebih aman dan meningkatkan interaksi positif di antara penduduk. CPTED generasi ketiga diarahkan untuk mencapai komunitas yang lebih aman melalui pendekatan yang holistik dan berfokus pada intervensi praktis.
Tabel 1. Teori Sejarah dan Elemen-elemen Perkotaan yang Meningkatkan Keamanan
Aman
No | Ahli Teori | Teori | Kesimpulan Penting |
1. | E. Wood (1961) | “A Social Theory of Housing Design” | Mendesain untuk visibitas (visibility) dan desain yang mendukung pembentukan kelompok informal dewasa |
2. | J. Jacobs (1961) | “Eyes on the streets” | Blok perumahan sebaiknya didesain menghadap ke jalan untuk meningkatkan pengawasan (surveillance) |
3. | S. Angel (1968) | “Discouraging Crime through City Planning” | Meningkatkan jumlah orang dan aktivitas di jalan |
4. | R. Jeffery (1971) | “CPTED” | Pentingnya akses kontrol (access control), pengawasan alami (natural surveillance), penguatan territorial (territorial reinforcement), pemeliharaan dan manajemen |
5. | O. Newman (1972) | “Defensible space” | Teritorialitas, pengawasan alami, penempatan fasilitas lain, citra bangunan dan keberadaan area terdekat yang aman (security) penting untuk meningkatkan keamanan perkotaan |
6. | C. Alexander (1978) | “A Pattern Language” | Kota dan bangunan hanya bisa hidup jika dibuat oleh semua orang dalam masyarakat |
7. | R.V. Clarke (1980) | “Situational Crime Prevention” | Target (hardening and removal), access control, identification property, surveillance, controlling, reduce temptation, rules setting. |
8. | Brantingham & Brantingham (1981) | “Environmental criminology” | Pelaku kejahatan memiliki banyak kemungkinan atau potensi motif. Kejadian kejahatan terjadi di akhir proses keputusan. |
9. | Kelling & Wilson (1982) | “Broken window” | Pemeliharan yang terur-menerus dilakukan untuk gedung dan aksesorisnya serta manajemen property akan menjaga gedung dalam kondisi lebih baik dan akan meningkatkan keamanan |
10. | B. Hillier (1984) | “Space syntax” | Cara menganalisis jaringan jalan: integration, choice, dan depth distance |
11 | A. Coleman (1985) | Land use |
garasi, dan fasilitas lainnya yang semuannya memengaruhi kemanan |
12. | T. Crowe (1991) | “Target Hardening” | Terdapat tindakan mekanis, tindakan manusia atau organisasi, dan tindakan alami untuk keamanan perkotaan |
13. | Saville & Cleveland (1998) | “CPTED” 2nd generation | Generasi kedua adalah tambahan strategi dari CPTED: kohesi sosial, budaya |
No | Ahli Teori | Teori | Kesimpulan Penting |
komunitas, konektivitas, dan kapasitas ambang | |||
14. | UNICRI (2011) | “CPTED” 3rd generation | Menekankan langkah-langkah praktis untuk meningkatkan teritorialitas |
Sumber: Analisis, 2023
Menciptakan kota yang aman melibatkan beberapa perbedaan antara perencanaan kota (urban planning) dan perancangan/desain kota (design planning). Dalam konteks terseb, perbedaan-perbedaan utama mencakup elemen-elemen yang terdiri dari: skala, orientasi, perlakuan terhadap ruang, dan kerangka waktu (Arjmand 2016). Tabel 2 menunjukkan perbedaan-perbedaan utama antara perencanaan perkotaan dan desain perkotaan. Eksplorasi perbedaan ini menjadi kunci untuk memahami bagaimana kedua aspek ini dapat saling melengkapi dalam upaya menciptakan lingkungan perkotaan yang aman, berkelanjutan, dan berdaya guna.
Tabel 2. Perbedaan-perbedaan Utama antara Perencanaan dan Perancangan Kota.
Karakteristik | Perencanaan Kota | Perancangan/Desain Kota |
Skala | Seluruh kota, distrik, atau lingkungan | Tempat di antara bangunan (misalnya, taman atau ruang publik lainnya) |
Orientasi | Fungsional | Fungsional dan estetis (aesthetic) |
Perlakuan ruang | Utamanya 2 dimensi | 3 dimensi |
Kerangka waktu | Jangka panjang (5-20 tahun) | Jangka pendek (>5 tahun) |
Sumber: Analisis, 2023
Melalui pemahaman mendalam terhadap perbedaan-perbedaan ini, perencana dan perancang kota dapat bekerja bersama untuk menciptakan lingkungan perkotaan yang aman, berkelanjutan, dan menyatu dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Sinergi antara perencanaan perkotaan dan desain perkotaan merupakan kunci kesuksesan dalam mewujudkan kota yang aman dan berkualitas.
Elemen-elemen perencanaan dalam konteks perkotaan dan regional mencerminkan keragaman dan kompleksitas aspek yang perlu dipertimbangkan untuk mencapai pembangunan dan pengelolaan lingkungan perkotaan yang berkelanjutan dan berdaya guna. Dengan menggali lebih dalam ke dalam setiap elemen, dapat dipahami bagaimana cara mereka saling terkait dan berkontribusi pada keseluruhan keberhasilan perencanaan perkotaan yang holistik. Berikut adalah deskripsi lebih lanjut tentang elemen-elemen tersebut:
Perencanaan transportasi (transportation planning): melibatkan perencanaan infrastruktur transportasi, termasuk jalan raya, transportasi umum, dan jalur pejalan kaki untuk memastikan keterhubungan yang efisien di dalam kota.
Perencanaan kualitas udara (air quality planning): menitikberatkan pada strategi untuk memantau, menjaga, dan meningkatkan kualitas udara di wilayah perkotaan dengan mengendalikan polusi udara.
Perencanaan limbah padat (solid waste planning): berfokus pada manajemen limbah padat, termasuk pengumpulan, pengelolaan, dan pemanfaatan sisa-sisa atau sampah yang dihasilkan oleh masyarakat perkotaan.
Perencanaan tapak (site planning): melibatkan perencanaan penggunaan lahan pada tingkat lokasi tertentu, mempertimbangkan karakteristik setempat dan kebutuhan komunitas.
Perencanaan proyek (project planning): terkait dengan perencanaan dan pengembangan proyek-proyek tertentu, seperti pembangunan gedung atau infrastruktur spesifik.
Perencanaan induk (master planning): merupakan panduan untuk pengembangan wilayah yang lebih besar, menetapkan visi jangka panjang dan kerangka kerja bagi pembangunan di suatu Kawasan.
Perencanaan komprehensif (comprhensif planning): menyelaraskan berbagai elemen perencanaan, mencakup penggunaan lahan, transportasi, lingkungan, dan sosial, untuk menciptakan visi holistik dan berkelanjutan untuk perkotaan.
Perencanaan layanan kesehatan (heatlh services planning): berfokus pada penyediaan infrastruktur dan akses layanan kesehatan yang memadai bagi penduduk perkotaan.
Perencanaan kualitas air (water quality planning): menangani isu-isu terkait kualitas air, termasuk upaya untuk menjaga dan meningkatkannya.
Perencanaan fasilitas rekreasi (frecreation fasilities planning): memperhitungkan ruang terbuka dan fasilitas rekreasi untuk meningkatkan kesejahteraan dan gaya hidup masyarakat perkotaan.
Setiap elemen ini saling terhubung dan bersinergi, menciptakan landasan yang kokoh untuk perkotaan yang berkelanjutan dan berdaya guna. Integrasi holistik dari elemen-elemen ini adalah kunci untuk merancang perkotaan yang ramah lingkungan, berfungsi optimal, dan memenuhi kebutuhan masyarakatnya.
Elemen-elemen perancangan/desain kota merupakan komponen-komponen utama yang membentuk wajah dan karakteristik dari suatu kawasan perkotaan (city image). Masing-masing elemen ini memainkan peran penting dalam menciptakan lingkungan perkotaan yang fungsional, estetis, dan berdaya guna. Berikut adalah uraian lebih lanjut tentang elemen-elemen perancangan kota yang dapat meningkatkan keamanan kota (Rezaei 2023; Colquhoun 2007; Putra et al. 2023; Faizy 2022):
Bangunan: elemen pusat dalam perancangan kota, mencakup struktur-struktur fisik seperti rumah, perkantoran, pusat perbelanjaan, dan gedung-gedung lainnya. Desain bangunan dapat memengaruhi tata kota dan memberikan identitas visual pada suatu wilayah.
Transportasi: sistem transportasi, termasuk jaringan jalan, trotoar, jalur sepeda, dan transportasi umum, adalah elemen krusial dalam desain kota. Perancangan yang baik memastikan keterhubungan yang efisien dan aksesibilitas untuk semua lapisan masyarakat.
Ruang Publik: mencakup taman, taman kota, alun-alun, dan tempat-tempat terbuka lainnya yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Desain yang memperhatikan kebutuhan komunitas dan memberikan tempat untuk interaksi sosial dapat meningkatkan kualitas hidup.
Lanskap: termasuk elemen-elemen alam dan rekayasa alam yang membentuk lingkungan sekitar. Penanaman pohon, pelestarian vegetasi, dan perencanaan lanskap yang pintar dapat menciptakan keseimbangan antara perkotaan dan alam.
Jalan: memainkan peran sentral dalam perancangan kota, baik dari segi fungsional maupun estetika. Desain jalan yang baik mencakup peletakan trotoar, sistem drainase yang efisien, dan penataan lalu lintas untuk meningkatkan keamanan.
Setiap elemen perancangan kota saling terkait dan saling memengaruhi. Pendekatan holistik dalam merancang kota melibatkan koordinasi antar elemen ini untuk menciptakan lingkungan yang seimbang, inklusif, dan berkelanjutan (Kustiwan and Ramadhan 2019; Iqbal and Midhat 2022). Integrasi desain yang baik dapat menciptakan kota yang nyaman, efisien, dan memenuhi kebutuhan serta aspirasi warganya.
Kota yang Aman (Safe Cities)
Keamanan dan keselamatan kota telah menghadapi banyak ancaman. Beberapa berbentuk peristiwa dramatis yang rumit, dan banyak lainnya merupakan ekspresi dari keterkaitan antara kemiskinan dalam lingkungan perkotaan dan ketidaksetaraan institusional, sosial, dan ekonomi di permukiman kumuh. Tiga ancaman utama yang selalu ada, yakni: kejahatan dan kekerasan perkotaan, ketidakamanan penguasaan tanah dan penggusuran paksa, serta bencana alam dan buatan manusia (Kamer and Elsakka 2021). Gambar 4 memvisualisasikan ancaman-ancaman yang dapat mempengaruhi keselamatan dan keamanan kota.
Keamanan dalam konteks perkotaan tidak boleh diabaikan. Bahkan, dapat dilihat bahwa keamanan adalah elemen kritis dalam hierarki kebutuhan Maslow (Azevedo et al. 2021; Rezvani and Sadra 2019), yang menempatkan keamanan sebagai kebutuhan dasar setelah kebutuhan fisik dan psikologis. Penting untuk memahami bahwa keamanan adalah elemen kritis dalam kualitas hidup kota. Kualitas hidup yang baik dalam setiap kota seharusnya mencakup keamanan sebagai prioritas. Sistem kota yang cerdas dan aman seharusnya memiliki karakteristik seperti yang terlihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Kualitas Sistem Kemanan Kota yang Aman dan Cerdas Sumber: Analisis, 2023
Konsep kota yang cerdas dan aman (safe smart cities) (Lacinák and Ristvej 2017) berkaitan erat dengan memberikan kualitas hidup yang baik bagi penduduk kota. Hal ini mencakup pencegahan kejahatan, manajemen tanah yang adil, dan kesiapan menghadapi berbagai bencana. Keamanan tidak hanya mencakup aspek fisik, tetapi juga elemen-elemen seperti perencanaan krisis, tanggap darurat, dan partisipasi masyarakat.
Peran Perencanaan dan Perancangan Kota dalam Upaya Meningkatkan Keamanan Kota (Safe Cities)
Dalam konteks menciptakan Safe Cities, perencanaan dan perancangan/desaun kota memegang peran sentral dalam membentuk lingkungan yang aman, berkelanjutan, dan berdaya guna.
Perencanaan perkotaan memiliki dampak signifikan pada keamanan kota. Beberapa elemen yang mencirikan peran perencanaan perkotaan dalam menciptakan Safe Cities melibatkan:
Penggunaan Lahan. Melibatkan pemilihan dan penggunaan lahan dengan bijaksana, termasuk konsep campuran penggunaan lahan dan penguatan pergerakan pejalan kaki. Prinsip-prinsip ini membentuk dasar untuk struktur perkotaan yang berkelanjutan dan ramah keamanan (Strandbygaard et al. 2020).
Perencanaan Jalan. Beberapa tata letak jalan terbukti lebih menguntungkan dibandingkan yang lain, terutama dalam pola yang dapat mengganggu perilaku pencarian oleh penjahat dan pelaku kejahatan untuk rute pelarian. Menitikberatkan pada tata letak jalan yang mempertimbangkan aspek keamanan. Dengan memilih pola tata letak yang cerdas, perencanaan jalan dapat menghambat perilaku kejahatan dan mempertimbangkan rute pelarian yang optimal (Wu et al. 2015; Davies and Johnson 2015).
Kepadatan. Berikut ini merupakan standar umum dalam perencanaan untuk semua jenis perumahan bahwa kepadatan sebaiknya dikelola dengan memperhatikan faktor-faktor, yakni:
Pencahayaan yang memadai, sinar matahari, udara, dan area terbuka yang dapat digunakan untuk semua tempat tinggal.
Ruang yang memadai untuk fasilitas komunitas.
Perasaan privasi dan keterbukaan umum.
Hubungan yang wajar dengan biaya tanah dan pengembangan.
Hubungan dengan skala situs, lingkungan, dan wilayah geografis.
Kepadatan yang terlalu tinggi sebaiknya dihindari karena dapat menciptakan masalah kerumunan. Pentingnya kepadatan dalam perencanaan harus seimbang untuk mematiskan kenyamanan dan keamanan di lingkungan yang ditempati oleh individu- individu kota. Area kepadatan tinggi bisa sangat baik ditinggali dalam kasus di mana aktivitas manusia ditempatkan dengan tepat di sekitar bangunan (Jiang et al. 2021).
Manajemen dan Tata Kelola yang Baik. Tata kelola keamanan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui manajemen yang tepat dan alokasi sumber daya yang sesuai. Hal tersebut mencakup beberapa konsep berikut:
Regulasi: pemerintah kota memiliki kewenangan dan kekuatan terkait pencegahan kejahatan dan pengendalian untuk mengatasi ketidakamanan dan penyebabnya.
Penegakan: komunitas lokal harus bekerja sama dengan penegakan hukum, bekerjasama dalam teknik pemecahan masalah untuk mengatasi masalah yang menyebabkan hilangnya keamanan publik. Menegakkan aturan hukum dan hak asasi manusia adalah kunci untuk meningkatkan keamanan.
Keterlibatan: pejabat kota harus berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat, termasuk kelompok yang terpinggirkan dan rentan.
Ketahanan: dengan meningkatkan ketahanan masyarakat dan mengurangi kerentanan. Kelompok rentan atau yang sering dikecualikan juga harus dipertimbangkan, seperti perempuan dan pemuda (Spierings 2012).
Dengan memahami dan mengimplementasikan prinsip-prinsip ini, perencanaan perkotaan dapat menjadi kunci dalam menciptakan Safe Cities yang memprioritaskan keamanan warganya.
Perancangan perkotaan memiliki peran sentral dalam membentuk dan meningkatkan keamanan kota melalui penerapan berbagai prinsip. Desain perkotaan bukan hanya tentang estetika visual, tetapi juga tentang menciptakan lingkungan yang aman dan berkelanjutan. Beberapa prinsip kunci yang memandu peran ini meliputi:
Defensible Space (Ruang Defensif). Istilah ini dicetuskan oleh Oscar Newman, yang menyatakan bahwa desain fisik dapat memengaruhi perasaan kontrol warga terhadap
lingkungannya. Desain yang memungkinkan penduduk menolak pelaku kejahatan memberikan kontribusi dalam menciptakan keamanan (Reynald and Elffers 2009; Zen and Mohamad 2014).
Territoriality (Teritorialitas). Dapat didefinisikan sebagai respons emosional terhadap ruang oleh penduduknya, yang mendefinisikannya sebagai milik mereka. Contohnya termasuk penduduk yang menandai area dengan tanda atau gerbang (Reynald and Elffers 2009).
Access Control (Kontrol Akses). Bertujuan untuk mengizinkan hanya individua tau kelompok yang memiliki urusan yang sah di suatu area untuk masuk. Hal tersebut meningkatkan keamanan dengan mempersulit atau mengurangi peluang kejahatan (Khalid et al. 2020).
Surveillance (Pengawasan). Mengacu pada kemampuan untuk mengamati/mengawasi perilaku yang mencurigakan, baik oleh pengguna informal (pejalan kaki, orang berjualan, dan lain-lain) maupun pengguna formal (petugas polisi, security, dan lain- lain) dari sebuah ruang/area tertentu. Hal ini bergantung pada desain dari sebuah ruang dan sejauh mana ruang tersebut dirancang untuk dapat memfasilitasi atau menghambat pengawasan (Zeng, Mao, and Wang 2021).
Target Hardening (Penguatan Sasaran). Istilah tersebut dapat dikenal sebagai keamanan fisik, yang mencakup penambahan pagar, jendela, pintu, dan struktur fisik lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan kesulitan bagi pelaku kejahatan untuk bertindak jahat.
Image (Citra). Merujuk pada upaya pengkondisian dan pemeliharaan yang diperlukan untuk menciptakan kesan keamanan dan keteraturan dalam suatu lingkungan.
Activity Support (Dukungan Aktivitas). Suatu lingkungan harus mampu mendukung kegiatan masyarakat yang sah dalam suatu area/ruang dan menyediakan pengawasan tambahan (Hashim et al. 2016).
Maintenance (Pemeliharaan). Merujuk pada indikator kepemilikan property yang baik Dimana pemeliharaan yang buruk dapat mencerminkan rendahnya control dan dapat meningkatkan risiko kejahatan. Misalnya kerusakan pada bangunan/infrastruktur menunjukkan tingkat kendali yang rendah oleh pengguna yang dimaksud. Pentingnya pemeliharaan untuk mencegah atau menakut-nakuti kejahatan dijelaskan dalam teori broken window (Silva and Li 2020; Liu, Wu, and Che 2019).
Melalui penerapan prinsip-prinsip yang telah diuraikan sebelumnya, desain perkotaan bukan hanya menciptakan ruang yang indah secara visual tetapi juga berkontribusi nyata terhadap pencapaian tujuan Safe Cities. Desain perkotaan tidak hanya mencakup elemen visual, tetapi juga karakteristik fisik yang memiliki dampak signifikan pada keamanan. Beberapa elemen fisik yang memengaruhi keamanan dan bagaimana desain perkotaan dapat mengatasi tantangan tersebut melibatkan:
Ruang publik dan taman. Desain yang memprioritaskan ruang publik dan taman dapat mencipatakan titik-titik pertemuan sosial yang aman. Penataan yang baik dapat mengurangi potensi "ruang negatif" atau area yang dapat menjadi tempat potensial untuk aktivitas kejahatan (Ceccato 2016).
Menghindari ruang negatif. Mengacu pada upaya untuk menjauhi desain-desain yang menciptakan ruang tersembunyi atau gelap yang dapat menjadi tempat berkumpulnya kejahatan.
Penggunaan Vegetasi. Penggunaan vegetasi, termasuk pohon, dapat menciptakan lingkungan yang sehat dan nyaman. Namun, perlu diperhatikan bahwa vegetasi yang padat di sekitar jalur pejalan kaki, dapat dijadikan sebagai tempat persembunyian oleh pelaku kejahatan, sehingga perlu dirancang dengan baik, serta dilakukan pemeliharaan dan pengawasan.
Pencahayaan Eksternal. Pencahayaan yang baik di ruang publik dan di sepanjang jalur pejalan kaki dapat meningkatkan visibilitas, menciptakan atmosfer yang aman, dan mengurangi potensi kejahatan.
Hirarki Ruang. Pemahaman hirarki ruang, dari area publik hingga area pribadi, memandu desain untuk menciptakan zona yang sesuai dengan tingkat aktivitas dan kebutuhan keamanan.
Ketinggian Bangunan. Pemilihan tinggi bangunan yang tepat dapat membentuk lanskap perkotaan yang aman. Bangunan yang tinggi dapat menciptakan bayangan dan area yang kurang terawasi sehingga meningkatkan terjadinya kejahatan (Sheppard et al. 2022; Ragheb, El-Shimy, and Ragheb 2016). oleh karena itu, perlu perencanaan dan perencangan bangunan yang baik.
Permeabilitas jalan. Desain perkotaan harus mempertimbangkan tingkat permeabilitas jalan, dengan menghindari jalan buntu yang dapat menjadi tempat persembunyian atau pelarian yang efektif bagi pelaku kejahatan.
Desain trotoar. Trotoar yang lebar, terawatt, dan dapat diakses dengan baik akan meningkatkan mobilitas pejalan kaki dan memberi kesan keamanan (image).
Tata letak dan orientasi bangunan. Penataan yang baik dan orientasi bangunan dapat meningkatkan visibilitas dan menciptakan lingkungan yang lebih terbuka dan terawasi.
Lokasi pintu masuk. Penempatan pintu masuk yang strategis memperkuat kontrol akses dan mengurangi potensi risiko.
Desain tempat parkir mobil. Tempat parkir yang dirancang dengan baik harus dapat diamati oleh penduduk sekitar, menciptakan kesan pengawasan dan keamanan.
Gerbang akses dan pagar. Dapat berperan sebagai elemen pembatas fisik yang mengontrol akses ke area tertentu.
Desain jendela dan balkon. Jendela dan balkon yang menghadap ke area terbuka menciptakan kesan terbuka dan meningkatkan potensi pengawasan.
Akses layanan pemadam kebakaran. Akses yang mudah untuk layanan darurat seperti pemadam kebakaran harus diintegrasikan ke dalam desain kota.
Desain pintu belakang. Perlu dipertimbangkan karena desain pintu belakang dapat digunakan untuk menghindari celah keamanan yang tidak diinginkan.
Closed Circuit Television (CCTV). Pemasangan alat teknologi pengawasan buatan, seperti CCTV dapat meningkatkan keamanan dengan adanya rekaman visual yang dapat memantau aktivitas di area tertetu.
Pembahasan
Penelitian ini secara khusus mengeksplorasi peran perencanaan dan perancangan kota dalam meningkatkan keamanan kota. Keamanan kota adalah aspek kritis dalam menciptakan lingkungan yang memberikan rasa aman dan perlindungan bagi penduduknya. Melalui tinjauan literatur, penelitian ini berfokus pada pengumpulan pengetahuan dari studi sebelumnya di bidang perencanaan perkotaan dan perancangan perkotaan, untuk membahas dampak konsep dan elemen-elemen tertentu terhadap tingkat kejahatan di lingkungan perkotaan.
Dalam konteks keberlanjutan perkotaan, penelitian ini mempertimbangkan bahwa keamanan bukan hanya tanggung jawab penegak hukum, tetapi juga tergantung pada perencanaan tata ruang dan desain lingkungan. Pengaruh keputusan perencanaan dan desain perkotaan terhadap keamanan kota tidak bisa diabaikan, dan penelitian ini mengidentifikasi bahwa perubahan besar dalam struktur kota yang sudah ada dapat menjadi faktor pembatas dalam kemajuan menuju kota yang lebih aman. Keputusan perencanaan seperti penggunaan lahan, perencanaan jalan, kepadatan, dan manajemen tata kelola kota memiliki dampak signifikan terhadap tingkat keamanan.
Keberhasilan implementasi konsep kota yang aman juga terkait erat dengan keberlanjutan budaya dan masyarakat setempat. Penelitian ini mengakui bahwa setiap kota memiliki karakteristik uniknya, dan desain yang berhasil harus mempertimbangkan aspek-aspek ini. Oleh karena itu, saran perencanaan dan desain perkotaan harus diarahkan kepada pemerintah lokal dan otoritas manajemen perkotaan, yang memiliki pemahaman mendalam tentang kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat setempat.
Penelitian ini muncul dari kebutuhan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang peran perencanaan perkotaan dan desain perkotaan dalam mencapai kota yang lebih aman. Dengan tujuan membantu arah penelitian di masa mendatang, penulisan artikel ini dapat memberikan dasar untuk analisis lebih lanjut terhadap integrasi sistem kota cerdas dalam upaya meningkatkan keamanan kota.
Pemerintah berupaya mencapai stabilitas, keamanan, perbaikan lingkungan hidup, dan pengurangan ketakutan terhadap kejahatan melalui pembangunan kota yang aman. Dalam proses desain, perencanaan perkotaan menjadi langkah pertama karena memiliki peran yang lebih krusial, diikuti oleh desain perkotaan. Melalui integrasi perencanaan dan desain, kota yang aman dapat terwujud. Terdapat berbagai peluang peningkatan di kota dan area perkotaan melalui strategi seperti perencanaan jalan, penggunaan lahan yang efisien, dan optimalisasi kepadatan bangunan dalam ranah perencanaan.
Angel, Shlomo. 1968. Discouraging Crime through City Planning. Edited by University of California: Center for Planning and Development Research. Berkeley, CA.
Arjmand, Reza. 2016. “Public Urban Space, Gender and Segregation.” Public Urban Space, Gender and Segregation. https://doi.org/10.4324/9781315603025.
Azevedo, Vanessa, Ana Sani, Laura M. Nunes, and Daniela Pauloa. 2021. “Do You Feel Safe in the Urban Space? From Perceptions to Associated Variables.” Anuario de Psicologia Juridica 31 (1): 75–84. https://doi.org/10.5093/APJ2021A12.
Baran, Perver K., William R Smith, and Umut Toker. 2007. “The Space Syntax and Crime: Evidence from a Suburban Community.” (Proceedings) 6th International Space Syntax Symposium, Istanbul, 119:02-119:06.
Ceccato, Vania. 2016. “Public Space and the Situational Conditions of Crime and Fear.” International Criminal Justice Review 26 (2): 69–79. https://doi.org/10.1177/1057567716639099.
Clarke, Ronald V. 1997. Situational Crime Prevention Successful Case Studies Second Edition.
Guilderland, New York: Harrow and Heston.
Colquhoun, Ian. 2007. “Design Out Crime: Creating Safe and Sustainable Communities.” Design Out Crime: Creating Safe and Sustainable Communities 6 (4): 1–325. https://doi.org/10.4324/9780080470092.
Cozens, Paul. 2013. “Crime Prevention through Environmental Design. In Environmental Criminology and Crime Analysis.” Willan, 175–99. https://espace.curtin.edu.au/bitstream/handle/20.500.11937/8447/118489_11075_CPTED
-BookChapterCozensPrepublication.pdf?sequence=2.
Dawes, Michael J., and Michael J. Ostwald. 2017. “Christopher Alexander’s A Pattern Language: Analysing, Mapping and Classifying the Critical Response.” City, Territory and Architecture 4 (1): 1–14. https://doi.org/10.1186/s40410-017-0073-1.
Delpech, Dorothea, Herve Borrion, and Shane Johnson. 2021. “Systematic Review of Situational Prevention Methods for Crime against Species.” Crime Science 10 (1): 1–21. https://doi.org/10.1186/s40163-020-00138-1.
HE, Zhanjun, Zhipeng Wang, Zhong Xie, Liang Wu, and Zhanlong Chen. 2022. “Multiscale Analysis of the Influence of Street Built Environment on Crime Occurrence Using Street- View Images.” Computers, Environment and Urban Systems 97 (July): 101865. https://doi.org/10.1016/j.compenvurbsys.2022.101865.
Jacobs, Jane. 1961. The Death and Life of Great American Cities. New York: Random House. Jeffery, C. Ray. 1971. Crime Prevention through Environmental Design. Beverly Hills, CA: Sage
Publications.
Kamalipour, Hesam, Mohsen Faizi, and Gholamhossein Memarian. 2014. “Safe Place by Design: Urban Crime in Relation to Spatiality and Sociality.” Current Urban Studies 02 (02): 152–
62. https://doi.org/10.4236/cus.2014.22015.
Köklü, Elif, and Funda Yirmibeşoğlu. 2017. “Investigation of Fear of Crime in City Centers through the Example of BeŞIktaŞ SinanpaŞa Neighborhood.” Current Urban Studies 05 (03): 356–78. https://doi.org/10.4236/cus.2017.53020.
Komal, Komal. 2023. “Evaluating Crime Prevention Through Environmental Design (CPTED) Principles in Educational Institutions: Occupant Insights.” https://doi.org/10.32388/2B3LHR.
Lacinák, Maroš, and Jozef Ristvej. 2017. “Smart City, Safety and Security.” Procedia Engineering 192: 522–27. https://doi.org/10.1016/j.proeng.2017.06.090.
Mao, Yuanyuan, Ling Yin, Minling Zeng, Jiajun Ding, and Yan Song. 2021. “Review of Empirical Studies on Relationship between Street Environment and Crime.” Journal of Planning Literature 36 (2): 187–202. https://doi.org/10.1177/0885412221992280.
Mihinjac, Mateja, and Gregory Saville. 2019. “Third-Generation Crime Prevention Through.”
Social Sciences 8 (6): 1–20.
Nalla, Mahesh K., and Vania Ceccato. 2020. Crime and Fear in Public Places. Crime and Fear in Public Places. https://doi.org/10.4324/9780429352775-29.
Ragheb, Amany, Hisham El-Shimy, and Ghada Ragheb. 2016. “Green Architecture: A Concept of Sustainability.” Procedia - Social and Behavioral Sciences 216 (October 2015): 778–
87. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.12.075.
Reynald, Danielle M., and Henk Elffers. 2009. “The Future of Newman’s Defensible Space Theory: Linking Defensible Space and the Routine Activities of Place.” European Journal of Criminology 6 (1): 25–46. https://doi.org/10.1177/1477370808098103.
Rezaei, Mahmud. 2023. “A Review of Urban Design Projects and Theories: Types and Criteria.” Journal of Historical Archaeology & Anthropological Sciences 8 (1): 34–39. https://doi.org/10.15406/jhaas.2023.08.00271.
Wood, Elizabeth. 1961. Housing Design: A Social Theory. New York: Citizen’s Housing and Planning Council of New York.
Zen, Ismawi, and Nur Amalina Ali Mohamad. 2014. “Adaptation of Defensible Space Theory for the Enhancement of Kindergarten Landscape.” Procedia - Social and Behavioral Sciences 153: 23–35. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014.10.037.
Zukerman, Brad. 2013. “Criminal Activity and Access To Rail Transit: An Examination of the Relationship in Chicago.”