tidak tertutup kemungkinan terdapat adanya “sengketa” kepentingan para pihak yang
bernuansa contentiosa (saling gugat, red).
Bahkan terhadap putusan hakim pada tingkat di bawah dapat berpotensi adanya
keberpihakan atau setidak-tidaknya terdapat kemungkinan adanya kesalahan dalam
penerapan hukum oleh hakim. Mahkamah Konstitusi berpendapat terhadap permohonan
PKPU yang diajukan oleh kreditor dan tawaran perdamaian dari debitor ditolak oleh
kreditor diperlukan adanya upaya hukum. Berkenaan dengan upaya hukum tersebut cukup
dibuka satu kesempatan (satu tingkat) dan terkait dengan upaya hukum dengan alasan
karena adanya kemungkinan kesalahan dalam penerapan hukum oleh hakim di tingkat
bawah. Mahkamah berkesimpulan jenis upaya hukum yang tepat adalah kasasi (tanpa
dibuka hak mengajukan upaya hukum peninjauan kembali).
Sementara itu, untuk permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan tawaran
perdamaian dari debitor diterima oleh kreditor, maka hal tersebut tidak ada relevansinya
lagi untuk dilakukan upaya hokum Oleh karenanya menurut Mahkamah Konstitusi, norma
Pasal 235 ayat (1) yang menyatakan “Terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran
utang tidak dapat diajukan upaya hukum apapun” dan Pasal 293 ayat (1) yang menyatakan
“Terhadap putusan Pengadilan berdasarkan ketentuan dalam Bab III ini tidak terbuka upaya
hukum, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini” UU 37/2004 bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila tidak
dikecualikan diperbolehkannya upaya hukum kasasi terhadap putusan PKPU yang diajukan
oleh kreditor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor. Ternyata Pasal 235 ayat (1)
dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 telah terbukti menimbulkan ketidakadilan dan
ketidakpastian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Sedangkan Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 telah ternyata tidak menimbulkan
ketidakadilan dan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
Aturan yang melarang adanya upaya hukum terhadap putusan penundaan kewajiban
pembayaran utang (PKPU) sebagaimana tertuang dalam Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293
ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (UU PKPU) Pasal 235 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU
berbunyi “Terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan
upaya hukum apapun.” Sedangkan, Pasal 293 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi
“Terhadap putusan Pengadilan berdasarkan ketentuan dalam Bab III ini tidak terbuka upaya
hukum, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.”
Berdasarkan tujuan dibentuknya UU 37/2004, persyaratan yang berlaku dalam
penetapan pailit tidak didasarkan pada keadaan berhenti membayar ataupun
ketidakmampuan untuk membayar utang-utangnya. Akan tetapi, sambungnya, hanya
didasarkan pada tidak dibayarnya utang yang telah terbukti jatuh tempo dan dapat ditagih
(Adriaman, 2021). “Dengan kata lain, dalam Undang-Undang KPKPU, sepanjang debitur
terbukti tidak membayar, tidak masalah apakah debitur tidak membayar karena tidak mau,
ataupun tidak mampu, ataupun debitur tersebut masih sehat atau telah insolven. Maka
debitur tersebut dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga,” papar Usihen (Marzuki &
Sh, 2021). Selain itu, Usihen juga menjelaskan UU 37/2004 menyatakan semua penyitaan
yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika diperlukan hakim pengawas memerintahkan
pencoretannya. Sita yang dimaksud merupakan sita umum yang dikenal dalam hukum
perdata sebagai jaminan bersama seluruh kreditur untuk pembayaran kewajiban
keperdataan debitur terhadap pihak lainnya. “Sebagai lembaga sita umum dalam
penyelesaian utang debitur, kepailitan dipandang sebagai jalan keluar bagi permasalahan