https://blantika.publikasiku.id/
586
Blantika: Multidisciplinary Jornal
Volume - Number -, Month, 2023
p- ISSN 2985-4199 e-ISSN 2987-758x
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 23/PUU-XIX/2021 TERHADAP UNDANG-
UNDANG NO 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN
PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) ATAS
DIBENARKANNYA MENGAJUKAN UPAYA KASASI YANG
SEBELUMNYA TIDAK DIBENARKAN
Sahlan
1
, Hermawan
2
Fakultas Hukum, Universitas Sunan Giri, Surabaya, Indonesia
1,2
Email : sahlanlawoffice@gmail.com
ABSTRAK
Kepailitan adalah suatu kondisi dimana debitur tidak mampu melakukan pembayaran atas utang-
utang kreditornya. Kondisi tidak mampu membayar adalah karena kesulitan keuangan (Financial
distress) dari usaha debitur yang mengalami kemunduran. Penelitian ini mempergunakan
pendekatan yuridis normatif yang dilakukan melalui analisis yang diperoleh dari bahan-bahan
kepustakaan seperti buku, diktat, dan lain-lain dihubungkan dengan peraturan perundang-
undangan dan konsep para ahli hukum sebagai basis penelitiannya. Tidak sedikit ketika sebuah
perusahaan dinyatakan pailit memiliki dampak besar terhadap kerugian yang diderita oleh
kreditornya, terutama karyawan terhadap perusahaan yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan
Niaga. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pertimbangan hukum Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia dalam memutus perkara terhadap Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) untuk Pembenaran
Pengajuan Upaya Kasasi yang Sebelumnya Tidak Dapat Dibenarkan serta perkara apa dan apa
saja yang dapat dilakukan dalam upaya hukum dan teknis kasasi melaksanakan upaya kasasi
nantinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak kebangkrutan terhadap karyawan
dapat mengakibatkan pemutusan hubungan kerja yang mengakibatkan hilangnya status
sebagai pekerja. Posisi jabatan karyawan pada perusahaan pailit, karyawan diberikan
keistimewaan sebagai preferen kreditur yang merupakan pemenuhan haknya merupakan
prioritas pertama, sehingga perusahaan harus membayar tagihan gaji karyawan, sesuai
dengan undang-undang kepailitan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Kata kunci: Kepailitan, Mahkamah Konstitusi, Kurator, Debitur, Preferensi Kreditor,
Konkuren, Separatis, Pengadilan Niaga, Mahkamah Agung
ABSTRACT
Bankruptcy is a condition where the debtor is unable to make payments on the debts of his
creditors. The condition of being unable to pay is due to financial distress from the debtor's
business that has regressed. This research uses a normative juridical approach carried out
through analysis obtained from literature materials such as books, dictates, and others related to
laws and regulations and the concepts of legal experts as the basis of research. Not a few when a
company is declared bankrupt has a major impact on the losses suffered by its creditors,
especially employees of companies declared bankrupt by the Commercial Court. The purpose of
this study is to determine the legal considerations of the Constitutional Court of the Republic of
Indonesia in deciding cases against Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Debt
Vol. -, No. -, Thn
[Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 23/PUU-XIX/2021 terhadap Undang-
Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pkpu) atas
dibenarkannya Mengajukan Upaya Kasasi yang
sebelumnya tidak dibenarkan]
587
Payment Obligations (PKPU) for Justification for Filing Previously Unjustified Cassation Efforts
and what cases and what can be done in legal and technical efforts for cassation to carry out
cassation efforts later. The results showed that the impact of bankruptcy on employees can result
in termination of employment resulting in loss of status as a worker. Employee position in a
bankrupt company, employees are given privileges as preferred creditors which is the fulfillment
of their rights is the first priority, so the company must pay employee salary bills, in accordance
with the bankruptcy law in Law of the Republic of Indonesia No. 37 of 2004 concerning
Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations.
Keywords: Bankruptcy, Constitutional Court, Curator, Debtor, Creditor Preference,
Concurrent, Separatist, Commercial Court, Supreme Court.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-
ShareAlike 4.0 International
PENDAHULUAN
Pada saat ini hampir tidak ada negara yang tidak mengenal hukum kepailitan dalam
hukumnya. Keadaan pailit atau bangkrut merupakan peristiwa yang dapat terjadi pada siapa
saja, baik itu dari orang perorangan maupun badan hukum (legal entity). Kepailitan tidak
mengenal siapapun pihaknya, dalam kehidupan yang sesungguhnya kita dapati bahwa
seorang milioner maupun perusahaan multinasional juga dapat mengalami kepailitan
(Negara & Fedhitama, 2021). Di Indonesia, secara formal, hukum kepailitan sudah ada
sejak tahun 1905 dengan diberlakuannya Staatsblad 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad
1906 Nomor 348. Staatsblad 1905 Nomor 217 dan Staatsblad 1906 Nomor 348 kemudian
diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 1998,
yang kemudian diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat sehingga menjadi Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1998. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1998 tersebut adalah tentang Perubahan atas Undang-Undang (peraturan) tentang
kepailitan, yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004.1 Undang- undang Kepailitan, juga dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan dan
pembagian menurut tagihan masingmasing diantara para kreditor (Selian, n.d.).
Di dalam hukum, setidaknya terdapat dua pihak yang terikat oleh hubungan hukum
itu, yaitu Kreditor (creditor) dan debitor (debitor). Menurut hukum kepailitan yang berlaku
di negara Indonesia, kepailitan mengakibatkan Debitor yang dinyatakan pailit kehilangan
segala hak perdata untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan
ke dalam harta pailit. Pembekuan” hak Perdata ini diberlakukan oleh Pasal 24 Ayat (1)
Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhitung sejak
saat keputusan pernyataan pailit diucapkan. Mengenai pihak yang mengajukan
permohonan PKPU diatur dalam Pasal 222 sampai pasal 294 Undang-Undang Kepailitan,
antara lain Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dapat diajukan oleh debitor maupun
oleh kreditor (Asyhadie, 2007).
Selain pihak-pihak tersebut, kekhususan pada beberapa macam badan usaha tersebut
menjadi ambigu ketika disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang
Otoritas Jasa Keuangan, sesuai dengan tujuan berdirinya, yaitu untuk mengatur, mengawasi
dan melindungi seluruh lembaga keuangan di Indonesia (Kusuma, 2019).
Dengan disahkannya Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan ini secara langsung
memberikan otoritas kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mengawasi seluruh lembaga
keuangan di Indonesia baik itu diperbankan, asuransi, maupun perusahaan efek.
Dengan diamanahkannya pengawasan lembaga keuangan kepada Otoritas Jasa
Keuangan maka sudah selayaknya dalam pengajuan permohonan pailit pada lembaga
[Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 23/PUU-XIX/2021 terhadap Undang-
Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pkpu) atas
dibenarkannya Mengajukan Upaya Kasasi yang
sebelumnya tidak dibenarkan]
Vol. -, No.-, Thn
588
keuangan hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Namun pada kenyataannya
Otoritas Jasa Keuangan hanya berwenang mengajukan permohonan pailit kepada
perusahaan efek, lembaga kliring dan lembaga penjamin yang dapat diajukan permohonan
pailit, untuk lembaga perbankan dan asuransi tetap pada Bank Indonesia dan Menteri
Keuangan.
Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi
keuangan (Financial distress) dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran.
Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas
seluruh kekayaan debitor pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian
hari. Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk
mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri, maupun atas
permintaan pihak ketiga (di luar Debitor), suatu permohonan pernyataan ke Pengadilan.5
Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari
persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitor, dimana debitor utang piutang
yang menghimpit seorang debitor, dimana debitor tersebut sudah tidak mempunyai
kemampuan lagi untuk membayar utang- utangnya tersebut kepada para kreditornya
(Kapero, 2018).
Permohonan pernyataan pailit dapat dikabulkan jika persyaratan kepailitan telah
terpenuhi:
1. Debitor tersebut mempunyai dua atau lebih kreditor; dan
2. Debitor tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat di tagih.
Di Indonesia ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang mengatur mengenai akibat kepailitan terhadap perjanjian
kerja.
Dari ketentuan tersebut diketahui bahwa pekerja yang bekerja pada Debitor dapat
memutuskan hubungan kerja. Namun di pihak lain, Kurator dapat memberhentikannya
dengan mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau menurut ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hal ini buruh atau karyawan ingin sekali memperjuangkan haknya atas upah
dan pesangon yang sering kali sulit untuk didapat karena keberadaan kreditor separatis
(kreditor yang memiliki hak jaminan hutang kebendaan), sebagai pihak yang menjadi
prioritas dalam pembagian harta ketika terjadi pailit. Dan tidak sedikit ketika suatu
perusahaan yang dinyatakan pailit berdampak besar pada kerugian yang dialami oleh
karyawan terhadap perusahaan yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan.
Maka dari itu sangat diperlukannya perlindungan hukum terhadap pekerja atau
karyawan pada kasus kepailitan tersebut, untuk memperluas dan meningkatkan kualitas
hukum di Indonesia. Berdasarkan latar belakang di atas ada persoalan yang menarik, karena
terdapat beberapa pusaran masalah, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian
hukum dengan judul: “Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
23/Puu-Xix/2021 Terhadap Undang-Undang No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pkpu) Atas Dibenarkannya Mengajukan Upaya
Kasasi Yang Sebelumnya Tidak Dibenarkan.”
METODE PENELITIAN
Penelitian ini mempergunakan pendekatan yuridis normatif yang dilakukan melalui
analisis yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan seperti buku, diktat, dan lain-lain
Vol. -, No. -, Thn
[Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 23/PUU-XIX/2021 terhadap Undang-
Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pkpu) atas
dibenarkannya Mengajukan Upaya Kasasi yang
sebelumnya tidak dibenarkan]
589
dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan dan konsep para ahli hukum sebagai
basis penelitiannya. Penelitian hukum normatif memiliki ciri-ciri yaitu beranjak dari
kesenjangan dalam norma atau asas hukum, tidak menggunakan hipotesis, dan
menggunakan bahan hukum yang terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Di dalam penelitian hukum normatif, maka penelitian terhadap asas-asas hukum
dilakukan terhadap kaidah-kaidah hukum yang merupakan patokan-patokan dalam
berperilaku atau bersikap tidak pantas
Dalam penelitian hukum normatif dikenal metode pendekatan yaitu pendekatan
analisis konsep (analytical concept approach), pendekatan kasus (case approach),
pendekatan fakta (fact approach), pendekatan frasa (word and phrase approach),
pendekatan sejarah (historical approach), dan pendekatan perbandingan (comparative
approach). Dalam penulisan penelitian ini digunakan metode pendekatan analisis konsep
hukum, analisis perundang- undangan, dan pendekatan kasus yang berkaitan dengan
penerapan sanksi pidana dalam hal tindak pidana.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam pertimbangan Perkara Nomor 23/PUU-XIX/202 Mahkamah Konstitusi
menyatakan sangat penting memberi penegasan bahwa permohonan PKPU masih dapat
diajukan oleh kreditor (Pasal 222 ayat (1) Undang undang No.37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), sehingga perlu
dilakukan kontrol atas iktikad baik dari kreditor agar benar-benar tidak mencederai. Sebab,
eksistensi debitor juga menjadi bagian dari pelaku usaha turut berperan dalam menjaga
stabilitas ekonomi agar tetap terjaga kelangsungan usahanya dan justru tidak
disalahgunakan (Asikin, 2004).
Dengan begitu, kepastian hukum instrumen PKPU benar-benar dapat diwujudkan
sesuai dengan semangat dari Undang undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU yaitu memberikan perlindungan hukum
terhadap para pelaku usaha agar tidak mudah dipailitkan. Permohonan ini dikaitkan dengan
Putusan MK Nomor 17/PUU- XVIII/2020 yang dalam amar putusannya pada pokoknya
menyatakan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) Undang undang No.37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU adalah
konstitusional. Setelah mencermati permohonan dan amar Putusan MK Nomor 17/PUU-
XVIII/2020 tersebut, telah ternyata isu pokok yang dijadikan alasan dalam permohonannya
tidak terkait dengan “agar dapat dilakukannya upaya hukum terhadap putusan PKPU yang
diajukan oleh kreditor”.
Mahkamah Konstitusi berpendapat dimungkinkan adanya perubahan pendirian
Mahkamah Konstitusi yang disebabkan karena adanya persoalan fundamental yang
berkenaan dengan upaya hukum terhadap permohonan PKPU yang diajukan kreditor
sebagaimana mengemuka dalam pemeriksaan persidangan perkara ini (Erwin, 2013).
Khususnya, keterangan dari Pihak Terkait Mahkamah Agung dan IKAPI. Karena itu,
perubahan pendirian demikian adalah hal yang dapat dibenarkan dan konstitusional
sepanjang mempunyai ratio legis yang dapat dipertanggungjawabkan. Sesungguhnya yang
paling mengetahui secara konkret berkenaan dengan kemampuan keuangan atau finansial
adalah debitor dan agar putusan pengadilan atas permohonan PKPU yang diajukan kreditor
dapat dilakukan koreksi sebagai bagian dari mekanisme kontrol atas putusan pengadilan
pada tingkat di bawah. Terlebih, terhadap permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor
dan tawaran perdamaian yang diajukan oleh debitor ditolak oleh kreditor . Hal demikian
[Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 23/PUU-XIX/2021 terhadap Undang-
Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pkpu) atas
dibenarkannya Mengajukan Upaya Kasasi yang
sebelumnya tidak dibenarkan]
Vol. -, No.-, Thn
590
tidak tertutup kemungkinan terdapat adanya sengketa” kepentingan para pihak yang
bernuansa contentiosa (saling gugat, red).
Bahkan terhadap putusan hakim pada tingkat di bawah dapat berpotensi adanya
keberpihakan atau setidak-tidaknya terdapat kemungkinan adanya kesalahan dalam
penerapan hukum oleh hakim. Mahkamah Konstitusi berpendapat terhadap permohonan
PKPU yang diajukan oleh kreditor dan tawaran perdamaian dari debitor ditolak oleh
kreditor diperlukan adanya upaya hukum. Berkenaan dengan upaya hukum tersebut cukup
dibuka satu kesempatan (satu tingkat) dan terkait dengan upaya hukum dengan alasan
karena adanya kemungkinan kesalahan dalam penerapan hukum oleh hakim di tingkat
bawah. Mahkamah berkesimpulan jenis upaya hukum yang tepat adalah kasasi (tanpa
dibuka hak mengajukan upaya hukum peninjauan kembali).
Sementara itu, untuk permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan tawaran
perdamaian dari debitor diterima oleh kreditor, maka hal tersebut tidak ada relevansinya
lagi untuk dilakukan upaya hokum Oleh karenanya menurut Mahkamah Konstitusi, norma
Pasal 235 ayat (1) yang menyatakan “Terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran
utang tidak dapat diajukan upaya hukum apapun” dan Pasal 293 ayat (1) yang menyatakan
“Terhadap putusan Pengadilan berdasarkan ketentuan dalam Bab III ini tidak terbuka upaya
hukum, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini” UU 37/2004 bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila tidak
dikecualikan diperbolehkannya upaya hukum kasasi terhadap putusan PKPU yang diajukan
oleh kreditor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor. Ternyata Pasal 235 ayat (1)
dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 telah terbukti menimbulkan ketidakadilan dan
ketidakpastian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Sedangkan Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 telah ternyata tidak menimbulkan
ketidakadilan dan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
Aturan yang melarang adanya upaya hukum terhadap putusan penundaan kewajiban
pembayaran utang (PKPU) sebagaimana tertuang dalam Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293
ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (UU PKPU) Pasal 235 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU
berbunyi “Terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan
upaya hukum apapun.” Sedangkan, Pasal 293 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi
“Terhadap putusan Pengadilan berdasarkan ketentuan dalam Bab III ini tidak terbuka upaya
hukum, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Berdasarkan tujuan dibentuknya UU 37/2004, persyaratan yang berlaku dalam
penetapan pailit tidak didasarkan pada keadaan berhenti membayar ataupun
ketidakmampuan untuk membayar utang-utangnya. Akan tetapi, sambungnya, hanya
didasarkan pada tidak dibayarnya utang yang telah terbukti jatuh tempo dan dapat ditagih
(Adriaman, 2021). “Dengan kata lain, dalam Undang-Undang KPKPU, sepanjang debitur
terbukti tidak membayar, tidak masalah apakah debitur tidak membayar karena tidak mau,
ataupun tidak mampu, ataupun debitur tersebut masih sehat atau telah insolven. Maka
debitur tersebut dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga,” papar Usihen (Marzuki &
Sh, 2021). Selain itu, Usihen juga menjelaskan UU 37/2004 menyatakan semua penyitaan
yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika diperlukan hakim pengawas memerintahkan
pencoretannya. Sita yang dimaksud merupakan sita umum yang dikenal dalam hukum
perdata sebagai jaminan bersama seluruh kreditur untuk pembayaran kewajiban
keperdataan debitur terhadap pihak lainnya. “Sebagai lembaga sita umum dalam
penyelesaian utang debitur, kepailitan dipandang sebagai jalan keluar bagi permasalahan
Vol. -, No. -, Thn
[Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 23/PUU-XIX/2021 terhadap Undang-
Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pkpu) atas
dibenarkannya Mengajukan Upaya Kasasi yang
sebelumnya tidak dibenarkan]
591
utang piutang antara debitur dan krediturnya, Dalam putusan Putusan Nomor 23/PUU-
XIX/2021 tersebut telah Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan
Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat, sepanjang tidak dimaknai, “diperbolehkannya upaya hukum kasasi terhadap
putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diajukan oleh kreditor dan
ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor Aturan yang melarang adanya upaya hukum
terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) sebagaimana tertuang
dalam Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU PKPU) dinyatakan
inkonstitusionalitas bersyarat (Harahap & Rachman, 2008).
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo,
Mahkamah menilai terhadap permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan tawaran
perdamaian yang diajukan oleh debitor ditolak oleh kreditor, maka tidak tertutup
kemungkinan terdapat adanya sengketa” kepentingan para pihak yang bernuansa
contentiosa (Husni, 2006). Bahkan terhadap putusan hakim pada tingkat di bawah dapat
berpotensi adanya keberpihakan atau setidak-tidaknya terdapat kemungkinan adanya
kesalahan dalam penerapan hukum oleh hakim (Bakir, 2007).
Mahkamah berpendapat terhadap permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor
dan tawaran perdamaian dari debitor ditolak oleh kreditor diperlukan adanya upaya
hukum,” ujar Suhartoyo membacakan pertimbangan hukum putusan yang diajukan oleh
PT. Sarana Yeoman Sembada yang diwakili oleh Sanglong alias Samad selaku Direktur
Utama (Arto, 2004).
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 23/PUU- XIX/2021 telah
memutus permohonan uji materiil yang diajukan terhadap Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293
ayat (1) UU 37/2004 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai diperbolehkannya upaya hukum
kasasi terhadap putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“PKPU”) yang
diajukan oleh kreditor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor (Ginting, 2018).
Sebelumnya diatur bahwa terhadap putusan PKPU tidak dapat diajukan upaya
hukum apapun. Namun kemudian, MK memutus untuk mengabulkan sebagian
permohonan uji materiil dengan amar putusan yang menyatakan kedua pasal tersebut di
atas berlaku secara inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitusional) atau
dinyatakan bertentangan secara bersyarat (Fajar & Achmad, 2017).
Adapun yang dimaksud dengan inkonstitusional bersyarat adalah pasal yang
dimohonkan pengujian materiilnya menjadi inkonstitusional apabila syarat yang ditetapkan
oleh MK tidak dipenuhi, sedangkan apabila syarat yang ditentukan telah dipenuhi maka
penerapan pasal yang diuji dimaksud menjadi konstitusional (tidak bertentangan dengan
UUD 1945).
Oleh sebab itu, terhadap putusan PKPU hanya dapat diajukan upaya hukum kasasi
sepanjang memenuhi dua syarat yaitu:
1. Permohonan PKPU diajukan oleh kreditor; dan
2. Tawaran rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor ditolak oleh kreditor.
Dalam hal tidak terpenuhinya kedua syarat tersebut, maka upaya hukum kasasi
terhadap putusan PKPU tidak dapat diajukan. Berdasarkan pertimbangannya, MK
mengisyaratkan agar Mahkamah Agung segera membuat regulasi lebih lanjut yang
berkaitan dengan tata cara atau mekanisme pengajuan upaya hukum kasasi terhadap
putusan PKPU.
[Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 23/PUU-XIX/2021 terhadap Undang-
Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pkpu) atas
dibenarkannya Mengajukan Upaya Kasasi yang
sebelumnya tidak dibenarkan]
Vol. -, No.-, Thn
592
KESIMPULAN
Berdasarkan paparan uraian terhadap masalah yang dibahas pada bab-bab
sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
Dalam pertimbangan Perkara Nomor 23/Puu-Xix/202 Mahkamah Konstitusi
menyatakan sangat penting memberi penegasan bahwa permohonan PKPU masih
dapat diajukan oleh kreditor (Pasal 222 ayat (1) Undang undang No.37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), sehingga
perlu dilakukan kontrol atas iktikad baik dari kreditor agar benar-benar tidak
mencederai. Sebab, eksistensi debitor juga menjadi bagian dari pelaku usaha turut
berperan dalam menjaga stabilitas ekonomi agar tetap terjaga kelangsungan
usahanya dan justru tidak disalahgunakan. Dengan begitu, kepastian hukum
instrumen PKPU benar-benar dapat diwujudkan sesuai dengan semangat dari
Undang undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU yaitu memberikan perlindungan hukum terhadap para
pelaku usaha agar tidak mudah dipailitkan.
Mahkamah Konstitusi, norma Pasal 235 ayat (1) yang menyatakan Terhadap
putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan upaya hukum
apapun dan Pasal 293 ayat (1) yang menyatakan “Terhadap putusan Pengadilan
berdasarkan ketentuan dalam Bab III ini tidak terbuka upaya hukum, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang ini” UU 37/2004 bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila tidak dikecualikan
diperbolehkannya upaya hukum kasasi terhadap putusan PKPU yang diajukan oleh
kreditor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor.
DAFTAR PUSTAKA
Adriaman, Mahlil. (2021). Upaya Hukum Terhadap Suspend Dalam Perjanjian
Kemitraan Antara PT. Gojek Indonesia dengan Driver. Jurnal Hukum
Respublica, 20(2), 8390.
Arto, Mukti. (2004). Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet V
Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Asikin, Zainal. (2004). Dkk. Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Asyhadie, Zaeni. (2007). Hukum kerja: hukum ketenagakerjaan bidang hubungan
kerja.
Bakir, Herman. (2007). Filsafat Hukum Desain dan Arsitektur Kesejarahan.
Bandung: Refika Aditama.
Erwin, Muhamad. (2013). Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum.
Fajar, Mukti, & Achmad, Yulianto. (2017). Dualisme Penelitian Hukum Normatif
Dan Empiris, Cetakan IV. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Vol. -, No. -, Thn
[Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 23/PUU-XIX/2021 terhadap Undang-
Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pkpu) atas
dibenarkannya Mengajukan Upaya Kasasi yang
sebelumnya tidak dibenarkan]
593
Ginting, Elyta Ras. (2018). Hukum Kepailitan: Teori Kepailitan. Bumi Aksara.
Harahap, M. Yahya, & Rachman, Ade Hairul. (2008). Kekuasaan Mahkamah
Agung: pemeriksaan kasasi dan peninjauan kembali perkara perdata. (No
Title).
Husni, Lalu. (2006). Pengantar hukum ketenagakerjaan Indonesia.
Kapero, Harry V. C. (2018). Akibat Kepailitan Terhadap Harta Peninggalan
Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Lex Et Societatis,
6(2).
Kusuma, Z. A. (2019). Hukum Ketenagakerjaan Dalam Teori & Praktik Di
Indonesia. Jakarta Timur: Prenadamedia Group.
Marzuki, Peter Mahmud, & Sh, M. S. (2021). Pengantar ilmu hukum. Prenada
Media.
Negara, Nanda Chandra Pratama, & Fedhitama, M. Farhan. (2021). Perlindungan
Hukum Debitor Atas Terpenuhinya Concursus Creditorium Dalam
Permohonan Pailit Sebagai Akibat Cessie Atas Sebagian Jumlah Piutang.
Journal of Economic and Business Law Review, 1(2), 111.
Selian, Muhammad Ali Hanafiah. (n.d.). Akibat hukum kepailitan pt united coal
indonesia terhadap karyawan (analisis putusan mahkamah agung nomor 186
k/pdt. sus-pailit. 2015 juncto nomor 557 k/pdt. sus-pailit/2018). Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.