Blantika: Multidisciplinary Jornal

Volume 2 Number 9, Juli, 2024

p- ISSN 2987-758X  e-ISSN 2985-4199

 

PENGARUH KONSELING LINTAS BUDAYA TERHADAP PENYESUAIAN KARYAWAN DI TEMPAT KERJA MULTIKULTURAL

                 

Darto Supadmo

Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta,Indonesia, Indonesia

E-mail: darto.supadmo22@gmail.com

ABSTRAK

Sarana dan Prasarana Kesehatan di Indonesia masih mengalami kendala di Indonesia utamanya di daerah terpencil dan tidak jarang pula mengakibatkan sengketa medis antara dokter dan pasien akibat kurangnya regulasi dan peran Pemerintah Dalam Mengatasi Percepatan Sarana Dan Prasarana Kesehatan Di Wilayah-Wilayah Terpencil dan tidak terselenggaranya peran Organisasi Profesi Kedokteran Dalam Menyelesaikan Sengketa Medis. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui peran Pemerintah dalam menyelesaikan sarana dan prasarana di wilayah terpencil sekaligus terhadap regulasi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, serta untuk mengetahui peranan dari organisasi profesi Kedokteran dalam menyelesaikan sengketa medis. Hasil penelitian yang diperoleh adalah peran pemerintah dalam mengatasi percepatan sarana dan prasarana kesehatan di wilayah-wilayah terpencil mencakup merencanakan, mengatur, menyelenggarakan pembinaan, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau, sementara regulasinya diatur dalam Pasal 14 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 949/MENKES/PER lll/2007 Tentang kriteria sarana pelayanan kesehatan terpencil dan sangat terpencil. Peran Organisasi Profesi Kedokteran (IDI) Dalam Menyelesaikan Sengketa Medis adalah dapat menjadi mediator Pasien/masyarakat yang merasa dirugikan oleh tindakan dokter, dapat menjatuhkan sanksi apabila dokter di dapati melakukan secara sah pelanggaran sengketa etik, dan sengketa disiplin profesi. Sementara apabila dokter kedapatan melanggar secara perdata maupun pidana maka peran Organisasi Profesi Kedokteran (IDI) hanya sebatas memberikan pendampingan hukum kepada anggotanya yang terlibat dalam kasus perdata maupun pidana, sementara urusan lembaga hukum yang berwenang (kepolisian/pengadilan).

 

Kata Kunci: Tinjauan Hukum, Sarana Prasarana, Kesehatan.

 

 

ABSTRACT

Health Facilities and Infrastructure in Indonesia are still experiencing obstacles in Indonesia, especially in remote areas and not infrequently result in medical disputes between doctors and patients due to the lack of regulation and the role of the Government in Overcoming the Acceleration of Health Facilities and Infrastructure in Remote Areas and the non-implementation of the role of Medical Professional Organizations in resolving medical disputes. The purpose of this study is to find out the role of the Government in resolving facilities and infrastructure in remote areas as well as regulations in accordance with the applicable laws and regulations in Indonesia, as well as to find out the role of medical professional organizations in resolving medical disputes. The results of the research obtained are the role of the government in overcoming the acceleration of health facilities and infrastructure in remote areas, including planning, regulating, organizing coaching, and supervising the implementation of equitable and affordable health efforts, while the regulations are regulated in Article 14 of Law No. 36 of 2009 concerning Health and the Regulation of the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 949/MENKES/PER lll/2007 concerning the criteria for remote health service facilities and very remote. The role of the Medical Professional Organization (IDI) in resolving medical disputes is to be able to mediate patients/communities who feel aggrieved by the doctor's actions, can impose sanctions if the doctor is found to have lawfully committed ethical disputes, and professional discipline disputes. Meanwhile, if a doctor is found to have violated civil or criminal matters, the role of the Medical Professional Organization (IDI) is only limited to providing legal assistance to its members involved in civil and criminal cases, while the affairs of the authorized legal institutions (police/courts).

 

Keywords: Legal Review, Infrastructure, Health.

qw56

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International

 

PENDAHULUAN

Pelayanan kesehatan merupakan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat sebagai bentuk upaya pencegahan, pengobatan suatu penyakit, termasuk di dalamnya pemberian tindakan medis yang berdasarkan pada hubungan individual pasien yang membutuhkan pelayanan medis sebagai upaya atas penyakit yang dialaminya kepada dokter. Dokter merupakan tenaga kesehatan yang memiliki keahlian di bidang medis atau kedokteran untuk memberikan tindakan medis kepada pasien. (Fadhlan dkk, 2023)

Pasien adalah orang yang datang kepada dokter karena sedang mengalami sakit dan awam akan penyakit. Oleh sebab itu dokter berkewajiban untuk membantu dan memberikan pelayanan medis yang sebaik-baiknya dalam upaya penyembuhan penyakit pasien. (Jadda, 2017)

Praktek kedokteran merupakan profesi pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kompeten sebagai seorang profesional kedokteran dan memenuhi standar tertentu. (Trisnadi, 2017). Dokter sebagai profesi yang memiliki kemampuan untuk mengupayakan penyembuhan terhadap penyakit pasiennya, kadangkala bisa timbul risiko medis

Adanya resiko medis karena beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya, antara lain sarana dan prasarana kesehatan yang kurang memadai seperti peralatan kesehatan penunjang yang masih jauh kurang atau tertinggal (Saputra dkk, 2023).  Di sisi lain pihak pasien atau keluarga pasien hanya memandang dari sisi hasil saja atas apa yang telah dilakukan oleh dokter. Padahal dokter hanya bisa berusaha semaksimal mungkin dalam melakukan tindakan medis untuk menolong atau menyembuhkan pasien sesuai dengan standar profesi medis dan dokter tidak bisa menjamin akan hasil dari upaya tersebut

Dari beberapa kasus yang telah disebutkan pada akhirnya menimbulkan sengketa medis dokter dengan pasien. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nasution, dkk (2021) yang menyatakan jika sengketa medis terjadi karena ada suatu masalah yang dirasa menimbulkan rasa ketidakpuasan dari salah satu pihak yang dianggap merugikan pihak lainnya dan yang sering adalah rasa tidak puas dari seorang pasien yang mendapatkan pelayanan, pengobatan, atau perawatan dari dokter ataupun klinik kesehatan

Sebelum terjadinya sengketa medis, biasanya didahului pra konflik dengan adanya ketidakpuasan dari yang diharapkan (expected) dan yang terjadi (fact) pada diri seorang pasien maupun keluarganya sehingga kemudian menimbulkan suatu persoalan yang mengganjal di dalam hati, baik yang dimaknai secara internal maupun secara eksternal untuk diungkapkan keluar dalam bentuk keluhan (complaint), hal inilah yang disebut konflik (conflict) yang akhirnya berujung pada sebuah sengketa. (Kurniawan, 2020)

Menurut Riyanto, Sengketa Medis yang terjadi antara dokter dengan pasien, dapat ditarik ciri-ciri dari sengketa tersebut, yaitu: Sengketa terjadi dalam hubungan antara dokter dengan pasien. Obyek sengketa adalah upaya penyembuhan yang dilakukan oleh dokter. Pihak yang merasa dirugikan dalam sengketa adalah pasien, baik kerugian berupa luka/cacat, maupun kematian. Kerugian yang diderita pasien disebabkan oleh adanya kelalaian/kesalahan dari dokter, yang sering disebut malpraktek medis. (Riyanto, 2018)

Seorang dokter yang dianggap tidak mampu memberikan kesembuhan kepada pasiennya atau mengakibatkan kecacatan atau kematian dianggap oleh pasien bahwa dokter tersebut telah melakukan kelalaian atau dianggap malpraktek. (Agustina, 2022). Dokter yang dianggap telah melakukan kelalaian sehingga menimbulkan persangkaan malpraktek oleh pasien merupakan pihak yang bertanggung jawab atas tindakannya. (Wirdanata, 2014), karena itu, seorang Dokter yang dianggap mampu bertanggung jawab apabila orang tersebut menyadari akan tindakan yang sebenarnya dilakukannya dan akibat dari hasil perbuatannya tersebut

Undang-Undang yang berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan kesehatan yakni, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dan Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, secara jelas tidak ada satupun Pasal yang menyebutkan tenaga kesehatan, termasuk juga dokter yang melakukan kelalaian dapat dipidana. Hal tersebut dipertegas lagi untuk kelalaian yang dilakukan oleh dokter tidak ada ketentuan pemidanaan, mekanismenya berupa ganti kerugian. Selain itu, terdapat juga Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 585 Tahun 1983 yang menjelaskan bahwa seorang dokter yang dianggap melakukan kelalaian karena tindakan medis akan diperiksa melalui Komite Etik Dokter Rumah Sakit. (Riyanto, 2017)

Berdasarkan permasalahan diatas, jelas sengketa medis yang terjadi antara dokter dan pasiennya salah satu faktor utamanya adalah dimungkinkan kelalaian dari dokter sehingga menimbulkan kerugian bagi pasien. Menurut Yuniati dalam Penelitiannya, bahwa guna mencegah kelalaian dari seorang dokter dalam menjalankan tugasnya tentu memerlukan peranan dari Pemerintah dan Organisasi Profesi yang menaungi dokter-dokter di Indonesia. (Yuniati, 2019).

Melalui peran dari Pemerintah dan Organisasi Profesi tersebut dapat dibuat aturan ataupun regulasi agar dokter-dokter yang tergabung didalamnya menjalankan profesinya dengan benar dan baik, dan apabila terbukti tidak menjalankan profesinya dengan baik, organisasi Profesi dapat menegur ataupun bahkan dapat mengeluarkan dokter dari organisasi profesi kedokteran yang ada dan disisi lain Pemerintah agar dapat memberikan kemudahan akses guna pengurusan perizinan di wilayah-wilayah terpencil

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah mengenai bagaimana peran Pemerintah dalam mengatasi percepatan sarana dan prasarana kesehatan di wilayah-wilayah terpencil dan bagaimana regulasinya, dan seperti apa peranan dari organisasi profesi Kedokteran dalam menyelesaikan sengketa medis sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui peran Pemerintah dalam menyelesaikan ketimpangan sarana dan prasarana di wilayah terpencil sekaligus terhadap regulasi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, serta untuk mengetahui peranan dari organisasi profesi Kedokteran dalam menyelesaikan sengketa medis sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

 

METODE DAN PENELITIAN

Kegiatan penelitian dalam kasus-kasus hukum memerlukan metode hukum dalam menjalankannya, agar kegiatan penelitian yang dijalankan menjadi terarah dan tepat sasaran. Menurut Marzuki (2016) “Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi”. dan “Metode penelitian hukum merupakan suatu cara yang sistematis dalam melakukan sebuah penelitian”.

Berdasarkan pada latar belakang penelitian yang diuraikan, maka metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif (normative law research) menggunakan studi kasus normatif berupa produk perilaku hukum, misalnya mengkaji Undang-Undang. Pokok kajiannya adalah hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat dan menjadi acuan perilaku setiap orang. Sehingga penelitian hukum normatif berfokus pada inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum dalam perkara in concreto, sistematik hukum, taraf sinkronisasi, perbandingan hukum dan sejarah hukum. (Rosidi dkk, 2024)

Dalam karya ilmiah ini metode penelitian normatif yang dilakukan adalah untuk mengkaji peran Pemerintah dalam menyelesaikan ketimpangan sarana dan prasarana di wilayah terpencil sekaligus terhadap regulasi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, serta untuk mengetahui peranan dari organisasi profesi Kedokteran dalam menyelesaikan sengketa medis sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Peran Pemerintah Dalam Mengatasi Percepatan Sarana Dan Prasarana Kesehatan Di Wilayah-Wilayah Terpencil Dan Regulasinya

Hak-hak akan kesehatan dalam landasan konstitusi negara secara jelas merupakan bagian penting dari kehidupan, sehingga keberadaanya yang sangat penting tersebut menjadikan pemenuhan akan hak kesehatan adalah bagian dari pemenuhan akan Hak Asasi Manusia yang secara nyata wajib terpenuhi. (Supriyono, 2022). Negara dengan tanggung jawabnya harus secara nyata memberikan pemenuhan akan hak dasar pada tiap warga negara yang berada di dalam nya, pemenuhan - pemenuhan tersebut dapat diwujudkan dalam banyak hal yang berkaitan dengan kesehatan mulai dari keberadaan fasilitas-fasilitas kesehatan seperti rumah sakit hingga puskesmas , keberadaan regulasi-regulasi yang dibuat demi dapat terpenuhinya hak masyarakat berkaitan dengan kesehatan. (Wattimena, 2021)

Pasal 14 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkanPemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat”. 

Berdasarkan pada penjelasan Pasal UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan di atas, bahwa peran pemerintah dalam mengatasi percepatan sarana dan prasarana kesehatan mencakup perencanaan, pengaturan penyelenggaraan pembinaan, dan pengawasan pada sarana dan prasarana kesehatan baik yang ada di yang tidak terpencil dan daerah terpencil. Adapun mengenai maksud daerah terpencil adalah daerah yang masih sulit dijangkau oleh akses transportasi dan juga jaringan internet. Daerah terpencil juga merupakan daerah yang keadaan sarana dan prasarananya, baik itu sarana dan prasarana dalam bidang pendidikan kesehatan maupun ekonomi masih terbatas. (Karim dkk, 2023)

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 949/MENKES/PER lll/2007  Tentang kriteria sarana pelayanan kesehatan terpencil dan sangat terpencil disebutkan jika Sarana pelayanan kesehatan yang ditetapkan dengan kriteria terpencil harus memenuhi syarat-syarat (1) Letak geografis berada di wilayah yang sulit dijangkau; Pegunungan, pedalaman, dan rawa-rawa; Rawan bencana alam baik gempa, longsor, maupun gunung api. (2) Akses transportasi, transportasi yang umum digunakan (darat/air/udara) rutin maksimal 2 (dua) kali seminggu, waktu tempuh memerlukan waktu pulang-pergi lebih dari 6 (enam) jam perjalanan. (3) Sosial ekonomi, kesulitan pemenuhan bahan pokok, Kondisi keamanan. Sarana pelayanan kesehatan ditetapkan sebagai sarana pelayanan kesehatan kriteria terpencil dengan pada Letak geografis, akses transportasi dan sosial ekonomi.  Bagi Pusat Pelayanan Masyarakat (Puskesmas) penetapan kriteria terpencil ditentukan dari jarak ibukota Kabupaten ke lokasi Puskesmas. Bagi Sarana Pelayanan Rujukan penetapan kriteria terpencil ditentukan dari jarak ibukota Provinsi ke lokasi Sarana Rujukan. Bagi Sarana Pelayanan Kesehatan lainnya penetapan kriteria terpencil ditentukan dari jarak ibukota Kabupaten ke lokasi Sarana Pelayanan Kesehatan lainnya

Pertama, perencanaan pada percepatan sarana dan prasarana kesehatan daerah terpencil mencakup perencanaan pada  (1) Alokasi dana; (2) Penetapan tenaga strategis; (3) Penetapan insentif; (4) Penetapan program pelayanan kesehatan;  (5) Penyediaan sarana dan prasarana kesehatan; (6) Pengembangan karir SDM Kesehatan, dan (7) Pendidikan dan pelatihan SDM Kesehatan. 

Kedua, pengaturan penyelenggaraan pembinaan percepatan sarana dan prasarana kesehatan daerah terpencil mencakup penyelenggaraan  (1) Alokasi dana; (2) Penetapan tenaga strategis; (3) Penetapan insentif; (4) Penetapan program pelayanan kesehatan;  (5) Penyediaan sarana dan prasarana kesehatan; (6) Pengembangan karir SDM Kesehatan, dan (7) Pendidikan dan pelatihan SDM Kesehatan. 

Ketiga, pengawasan pada sarana dan prasarana kesehatan daerah terpencil mencakup (1) Alokasi dana; (2) Penetapan tenaga strategis; (3) Penetapan insentif; (4) Penetapan program pelayanan kesehatan;  (5) Penyediaan sarana dan prasarana kesehatan; (6) Pengembangan karir SDM Kesehatan, dan (7) Pendidikan dan pelatihan SDM Kesehatan.

Berdasarkan penjelasan di atas bahwa peran pemerintah dalam mengatasi percepatan sarana dan prasarana kesehatan di wilayah-wilayah terpencil mencakup merencanakan, mengatur, menyelenggarakan pembinaan, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau, sementara regulasinya diatur dalam Pasal 14 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 949/MENKES/PER lll/2007 Tentang kriteria sarana pelayanan kesehatan terpencil dan sangat terpencil

 

Peran Organisasi Profesi Kedokteran Dalam Menyelesaikan Sengketa Medis 

Tindakan medis terhadap tubuh manusia oleh dokter kadang menimbulkan  permasalahan  yang  berujung  terjadinya  sengketa  medis. Biasanya  yang  dipersengketakan  berupa pelanggaran  etika  kedokteran, pelanggaran disiplin  kedokteran, pelanggaran  hak  orang  lain/pasien  atau  pelanggaran  kepentingan masyarakat  sehingga  dokter  dimintai  pertanggungjawaban  secara  etika kedokteran, disiplin kedokteran  dan  pertanggungjawaban  hukum  baik  secara  perdata, pidana maupun administrasi negara. (Sinaga, 2021)

Akibat dari terjadinya sengketa medis antara dokter dan pasiennya kepercayaan masyarakat terhadap dokter dapat  semakin  berkurangbahkan  tuntutan  hukum  yang  diajukan masyarakat  dewasa  ini  marak  terjadi.  Hal itu  dapat terjadi  karena  kegagalan  upaya penyembuhan yang dilakukan dokter. Sebaliknya apabila tindakan medis yang dilakukan dapat berhasil, dianggap berlebihan, padahal dokter dengan perangkat  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi  yang  dimilikinya  hanya  berupaya  untuk menyembuhkan,  dan  kegagalan  penerapan  ilmu  kedokteran  dan  kedokteran tidak selalu identik dengan kegagalan dalam tindakan. Disamping itu juga ada kalanya terdapat adanya beberapa kondisi yang  mengakibatkan hasil  pelayanan  kesehatan  yang diberikan oleh  Dokter  kepada  Pasien  tidak  sesuai  atau  jauh  dari  apa  yang  telah  diharapkan  oleh kedua belah Pihak, dimana hal tersebut dapat disebut sebagai resiko medis, dan ada pula yang  terjadi  akibat  kelalaian  medis. Organisasi Profesi Kedokteran sebagai organisasi yang menaungi pada dokter tentu mempunyai peranan Dalam Menyelesaikan Sengketa Medis yang terjadi

Di Indonesia Organisasi Profesi Kedokteran satu-satunya yang sah menurut perundang-undangan adalah Ikatan Dokter Indonesia atau IDI. (IDI, 2022) Ikatan Dokter Indonesia disingkat IDI adalah organisasi profesi kedokteran di Indonesia. IDI bertugas sebagai organisasi yang menaungi para dokter di seluruh Indonesia. Organisasi ini berafiliasi dengan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan RI. (Kusnali,2016).

Sebagai satu-satunya Organisasi Profesi Kedokteran yang sah IDI mempunyai peran dalam Menyelesaikan Sengketa Medis antara Dokter dan Pasien. Peran adalah aktivitas yang dijalankan seseorang atau suatu lembaga/organisasi. Peran yang harus dijalankan oleh suatu lembaga/organisasi biasanya diatur dalam suatu ketetapan yang merupakan fungsi dari lembaga tersebut. Peran itu ada dua macam yaitu peran yang diharapkan (expected role) dan peran yang dilakukan (actual role). Dalam melaksanakan peran yang diembannya, terdapat faktor pendukung dan penghambat. (Satia, 2021)

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam memberikan Perlindungan Hukum terhadap Dokter yang Berhadapan dengan Sengketa Medik, IDI mempunyai lembaga yang bernama BHP2A. BHP2A merupakan salah satu badan kelengkapan dari IDI (baik di tingkat pusat, wilayah, maupun cabang) yang memiliki tugas dan wewenang: (a) melakukan telaah hukum terhadap rancangan peraturan-peraturan dan ketetapan-ketetapan organisasi; (b) melakukan telaah hukum terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan anggota dan organisasi; dan (c) melakukan pembinaan dan pembelaan anggota dalam menjalankan profesinya. (Andryawan, 2021)

Sebagai badan yang bertugas melakukan pembinaan dan pembelaan terhadap anggota, BHP2A memiliki peran sentral ketika adanya sengketa medik yang melibatkan anggota profesi dokter dan pasien/masyarakat. Adapun peran-peran yang dimaksud perannya sebagai berikut

Pertama, Pasien/masyarakat yang merasa dirugikan oleh tindakan dokter, dapat mengajukan pengaduan ke BHP2A yang terdapat pada IDI cabang, wilayah, maupun pusat.

Kedua, BHP2A akan melakukan pemeriksaan awal terhadap pengaduan yang masuk guna menentukan jenis sengketa medik yang terjadi. Setidaknya terdapat 3 (tiga) macam sengketa medik, yaitu sengketa hukum (pidana/perdata), sengketa etik, dan sengketa disiplin profesi.

Ketiga, Jika pengaduan yang diajukan mengandung unsur pelanggaran etik, maka BHP2A akan meneruskan pengaduan tersebut ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) setempat guna diproses. Hal ini dikarenakan MKEK adalah lembaga yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan ada/tidaknya pelanggaran etik yang dilakukan oleh dokter terpadu, serta menetapkan sanksi etik bagi dokter yang terbukti melakukan pelanggaran etik. Lain halnya apabila pengaduan tersebut mengandung unsur pelanggaran disiplin profesi, maka BHP2A akan meneruskan pengaduan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) guna dilakukan pemeriksaan. MKDKI adalah lembaga yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan ada/tidaknya pelanggaran disiplin profesi yang dilakukan oleh dokter terpadu, serta menetapkan sanksi disiplin bagi dokter yang terbukti melakukan pelanggaran disiplin

Terakhir, apabila pengaduan yang diterima oleh BHP2A merupakan sengketa hukum (pidana/perdata), maka BHP2A akan meneruskan meneruskan pengaduan tersebut ke lembaga hukum yang berwenang (kepolisian/pengadilan).

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa Peran Organisasi Profesi Kedokteran (IDI) Dalam Menyelesaikan Sengketa Medis adalah dapat menjadi mediator Pasien/masyarakat yang merasa dirugikan oleh tindakan dokter, dapat menjatuhkan sanksi apabila dokter didapati melakukan secara sah pelanggaran sengketa etik, dan sengketa disiplin profesi. Sementara apabila dokter kedapatan melanggar secara perdata maupun pidana maka peran Organisasi Profesi Kedokteran (IDI) hanya sebatas memberikan pendampingan hukum kepada anggotanya yang terlibat dalam kasus perdata maupun pidana, sementara urusan lembaga hukum yang berwenang (kepolisian/pengadilan).

 

KESIMPULAN

Kesimpulan yang diperoleh adalah peran pemerintah dalam mengatasi percepatan sarana dan prasarana kesehatan di wilayah-wilayah terpencil mencakup merencanakan, mengatur, menyelenggarakan pembinaan, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau, sementara regulasinya diatur dalam Pasal 14 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 949/MENKES/PER lll/2007 Tentang kriteria sarana pelayanan kesehatan terpencil dan sangat terpencil. Sementara itu Peran Organisasi Profesi Kedokteran (IDI) Dalam Menyelesaikan Sengketa Medis adalah dapat menjadi mediator Pasien/masyarakat yang merasa dirugikan oleh tindakan dokter, dapat menjatuhkan sanksi apabila dokter di dapati melakukan secara sah pelanggaran sengketa etik, dan sengketa disiplin profesi. Sementara apabila dokter kedapatan melanggar secara perdata maupun pidana maka peran Organisasi Profesi Kedokteran (IDI) hanya sebatas memberikan pendampingan hukum kepada anggotanya yang terlibat dalam kasus perdata maupun pidana, sementara urusan lembaga hukum yang berwenang (kepolisian/pengadilan).

Keterbatasan literatur review ini hanya membahas mengenai tinjauan hukum regulasi sarana dan prasarana kesehatan di indonesia yang didalamnya membahas mengenai kurangnya peran pemerintah dalam mengatasi percepatan sarana dan prasarana kesehatan di wilayah-wilayah terpencil dan regulasinya dan dampaknya yang mengakibatkan sering terjadinya sengketa medik antara dokter dan pasien sehingga perlunya Peran Organisasi Profesi Kedokteran Dalam Menyelesaikan Sengketa Medis

Berdasarkan keterbatasan tersebut, maka saran yang diajukan adalah agar peneliti selanjutnya lebih memperluas bahasan dan cakupan mengenai tinjauan hukum regulasi kesehatan secara menyeluruh tidak hanya membahas mengenai sarana dan prasarana kesehatan saja.

.

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Z. A. Z., & Hariri, A. (2022). Pertanggungjawaban Pidana Atas Kelalaian Diagnosa Oleh Dokter Hingga Mengakibatkan Kematian Anak Dalam Kandungan. Iblam Law Review, 2(2), 108-128.

Andryawan, A., & Hartanti, O. P. (2021). Peran Dan Kendala Bhp2a Idi Dalam Penyelesaian Sengketa Medik. Prosiding Serina, 1(1), 59-68.

Falah, S. N. L., Adriansyah, R., & Fauzi, A. (2024). Administrasi, Regulasi, Peraturan Badan Permusyawaratan Desa–Peraturan Desa Di Desa Banjar, Kecamatan Banjar. Jurnal Dimensi Hukum, 8(1).

Idi. (2002). Kode Etik Kedokteran Indonesia Dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia.

Indonesia, R. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Jakarta Republik Indonesia.

Jadda, A. A. (2017). Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Sebagai Konsumen Jasa Pelayanan Kesehatan. Madani Legal Review, 1(1), 1-28.

Karim, H. A., Lis Lesmini, S. H., Sunarta, D. A., Sh, M., Suparman, A., Si, S., ... & Bus, M. (2023). Manajemen Transportasi. Cendekia Mulia Mandiri.

Kurniawan, W. (2020). Perlindungan Hukum Bagi Istri Dalam Sengketa Harta Wasiat (Studi Pada Nomor Perkara 0206/Pdtg/2017/Pa. Mt Di Pengadilan Agama Metro) (Doctoral Dissertation, Iain Metro).

Kusnali, A., Laksmiarti, T., & Effendi, D. E. (2016). Fungsi Kelembagaan Independen Dalam Penguatan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Jaminan Kesehatan Nasional. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 19(4), 250-257.

Nasution, M. A. S., Satria, B., & Tarigan, I. J. (2021). Mediasi Sebagai Komunikasi Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Medik Antara Dokter Dan Pasien. Jurnal Hukum Kesehatan Indonesia, 1(02), 86-96.

Saputra, N. A. U., Irwadi, M. K. N., Tanjung, M. K. N. A. I., Afdhal, M. K. N. F., Arsi, M. K. N. R., Kep, M., & Adab, P. (2023). Buku Ajar Keperawatan Komunitas Ii. Penerbit Adab.

Sari, T. W., Ayuningtiyas, R., Siregar, U. A., Fitri, I., & Aiyuda, N. (2022). Pendampingan Kesehatan Fisik, Mental, Dan Sosial Dalam Masa New Normal Terhadap Anak Binaan Panti Asuhan Assalam Kota Pekanbaru. Berdaya: Jurnal Pendidikan Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 4(3), 141-146.

Satira, A. U., & Hidriani, R. (2021). Peran Penting Public Relations Di Era Digital. Jurnal. SADIDA, 1(2), 179-202.

Sepriano, S., Hikmat, A., Munizu, M., Nooraini, A., Sundari, S., Afiyah, S., ... & Indarti, C. F. S. (2023). Transformasi Administrasi Publik Menghadapi Era Digital. Pt. Softpedia Publishing Indonesia.

Supriyono, S., Sholichah, V., & Irawan, A. D. (2022). Urgensi Pemenuhan Hak-Hak Konstitusional Warga Negara Era Pandemi Covid-19 di Indonesia. Jurnal Ilmiah Hukum dan Hak Asasi Manusia, 1(2), 55-66.

Wattimena, J. A. Y. (2021). Pemenuhan hak atas air bersih dan sehat, serta hak menggugat masyarakat. Balobe Law Journal, 1(1), 1-16.

Yuniati, R. (2021). Pengawasan Terhadap Pelayanan Kesehatan oleh Klinik Kecantikan dan Perlindungan Hak Pasien (Doctoral dissertation, Universitas Katolik Soegijapranata Semarang).